Kasus Helikopter AW 101, Penasihat Hukum: Narasi JPU KPK Diperoleh dari Imajinasi

Terdakwa dalam dugaan korupsi pembelian Helikopter AW 101 Irfan Kurnia Saleh
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA Nasional - Sidang dugaan korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland (AW)-101 di TNI AU kembali digelar pada Senin kemairin. Agenda sidang pembacaan pleidoi atau nota pembelaan yang dibacakan tim penasehat hukum terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh.

Eks Ajudan SYL Ungkap Firli Minta Uang Rp50 Miliar, Apa Kabar Berkas Kasus Pemerasan di Polri?

Anggota tim penasihat John Irfan, Pahrozi menyebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berimajinasi dalam menuntut kliennya. 

Dia mengatakan kliennya yang merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri dituding jaksa mengendalikan unit layanan pengadaan (ULP) terkait pengadaan Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara (TNI) tahun 2016.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

"Narasi JPU KPK ini diperoleh dari imajinasi, bukan berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum," kata Pahrozi saat membacakan pleidoi di ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 6 Februari 2023.

Pahrozi menyampaikan, pihak yang berwenang menentukan penyedia barang dan jasa adalah ULP. Adapun ULP merupakan unit organisasi pemerintah yang diangkat pejabat berwenang.

KPK Tetapkan Eko Darmanto Jadi Tersangka TPPU

Maka itu, ia heran dengan tuduhan jaksa bahwa kliennya yang notabene dari swasta mengatur ULP. Dia juga menyoroti tuntutan 15 tahun penjara terhadap kliennya yang tak didukung bukti yang sah.

Dia bilang tuntutan jaksa itu sebagai bentuk nyata kriminalisasi terhadap kliennya.

"Oleh karena itu, dalam nota pembelaan ini, kami meminta kepada majelis hakim agar terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan," jelas Pahrozi.

Kemudian, dia menambahkan, kliennya juga sudah melaksanakan kewajiban sebagai penyedia barang. Ia bilang demikian karena Helikopter AW-101 sudah diterima dengan baik oleh TNI AU.

Bagi dia, tak ada perbuatan terdakwa yang dapat dikategorikan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih lanjut, dia mengklaim dari fakta persidangan tak ada kerugian negara karena Helikopter AW-101 sudah diterima negara. Kata dia, unit helikopter itu sudah jadi barang milik negara (BMN) dan masuk dalam Laporan Keuangan (LK) Kementerian Pertahanan/TNI 2019.

"Sebagai konstruksi dalam pengerjaan sebesar Rp599,47 miliar. Dan, dana yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp 139,43 miliar. Saat ini Helikopter AW-101 sedang dilakukan pemeliharaan oleh Kemhan RI," jelas Pahrozi.

Helikopter TNI AU membawa bendera raksasa saat HUT RI ke 76 di atas Istana

Photo :
  • Dispen TNI AU

Dia menyindir jaksa berimajinasi karena menyebut TNI AU kecewa terhadap Helikopter AW-101. Menurut dia, dari versi jaksa anggap helikopter itu tak sesuai dengan spesifikasi teknis dalam kontrak pengadaan.

Tapi, kenyataannya TNI AU sudah menerima. TNI AU juga memperoleh anggaran 'return to service' untuk memperkuat TNI "Jika kecewa, tentunya helikopter tersebut akan ditelantarkan dan tidak digunakan," sebutnya.

Sebelumnya, jaksa menuntut terdakwa Irfan Kurnia dipidana penjara 15 tahun. Selain itu, tuntutan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

Jaksa juga membebankan pidana tambahan kepada Irfan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 177.712.972.054,60. Uang itu mesti dibayar terdakwa dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya