AJI Desak FPI Hentikan Buru Pemred Playboy

Erwin Arnada, pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia
Erwin Arnada, pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia
Sumber :
  • http://archive.wn.com

VIVAnews - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta Front Pembela Islam (FPI) untuk menghentikan rencana memburu Erwin Arnada, mantan pimpinan redaksi Playboy Indonesia. AJI menilai, ancaman itu merupakan teror terhadap pers.

"AJI Indonesia meminta agar organisasi masyarakat tidak melakukan aksi main hakim dan memburu jurnalis. Bagaimanapun organisasi masyarakat tidak memiliki wewenang melakukan itu," tulis siaran pers AJI yang disampaikan Ketua AJI Nezar Patria dan Koordinator Advokasi AJI Jakarta Margiyono, yang diterima VIVAnews.

AJI Indonesia juga mengingatkan FPI yang berencana melaporkan 28 majalah yang dinilai porno. Masyarakat sebaiknya berkonsultasi dengan Dewan Pers, apakah 28 majalah yang akan dilaporkan itu merupakan produk pers atau bukan.

"Kalau yang dilaporkan adalah produk pers, harus melaporkan ke Dewan Pers untuk ditimbang dari segi Kode Etik Jurnalistik," tulis keterangan AJI.

Penegasan bahwa Majalah Playboy adalah produk pers tertuang dalam Surat Pernyataan dan Rekomendasi Nomor 7/P-DP/IV/2006 yang ditandatangi Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal.

Disebutkan, Playboy Indonesia digolongkan sebagai "produk pers yang dapat melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik tentang perlindungan anak dan remaja. Pelanggaran itu dapat terjadi jika Playboy diedarkan kepada anak-anak berusia kurang dari 21 tahun.

Dewan Pers juga sudah mengeluarkan Peraturan Nomor 8/Peraturan-DP/X/2008tentang Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa. Menurut aturan itu, media khusus dewasa tidak boleh terjangkau anak-anak dibawah 21 tahun, serta diluar lingkungan sekolah dan tempat ibadah.

Sampul media harus ditutup hingga hanya nampak nama majalahnya saja dan diberi tanda "21++". Dalam peraturan itu dinyatakan, jika ada anggota masyarakat yang melihat distribusi media khusus dewasa yang melanggar ketentuan tersebut dapat melapor ke Dewan Pers.

"AJI Indonesia juga menyesalkan adanya putusan dua tahun penjara terhadap Erwin Arnada oleh Mahkamah Agung pada Juli tahun lalu," tulis AJI.

Putusan itu dinilai tidak mengikuti prosedur Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, melainkan hanya semata-mata menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, menurut Dewan Pers, Playboy termasuk kategori produk pers.

Karena Playboy merupakan majalah pers, maka saat mengadili kasus hukum mengenainya, hakim harus menggunakan UU Pers secara primat-preveils (utama). AJI Indonesia juga menyesalkan proses pengadilan kasus ini yang tidak mengundang ahli dari Dewan Pers pada sidang pengadilan.

Memang ada saksi dari Dewan Pers, Leo Batubara, pada sidang pertama namun dalam sidang tersebut hakim memutus mengembalikan dakwaan kepada penuntut umum untuk diperbaiki. Setelah itu tak ada lagi kabarnya. Sidang-sidang dari tingkat pertama sampai kasasi tidak memanggil ahli dari Dewan Pers.

Padahal, pada Desember 2008, ketua MA telah mengeluarkan Surat Edaran MA kepada para hakim di Indonesia, agar setiap mengadili kasus pers, para hakim mengundang ahli dari Dewan Pers. Namun, sangat disesalkan, SEMA tersebut tak dipatuhi para hakim yang menangani kasus ini. (hs)