Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Penambahan Kewenangan Penegak Hukum-Militer, Lebih Baik Penguatan Pengawasan

Ilustrasi gambar : Hukum
Sumber :
  • vstory

Jakarta, VIVA – Koalisi masyarakat sipil mengkritik wacana penambahan kewenangan kepada lembaga penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan serta lembaga militer TNI melalui Revisi Undang-Undang (RUU).

Unit Intelijen Militer Ukraina Hantam Radar dan Lusinan Senjata Berat Rusia

Koalisi sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan, menilai rencana penambahan kewenangan yang terjadi saat ini sangatlah keliru.

Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan hal itu dikarenakan dengan kewenangan yang ada saat ini, ketiga lembaga itu justru seringkali melakukan penyimpangan seperti korupsi dan kekerasan. 

Ribuan Tentara Rusia Berhasil Terobos Perbatasan Internasional Ukraina

"Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu 9 Februari 2025.

Ilustrasi hukum.

Photo :
  • Pixabay.
Karier Militer Cemerlang, Laksda TNI Edwin Dilantik Jadi Wakil Gubernur Lemhannas

Ia mencontohkan Kejaksaan Agung misalnya sempat dihebohkan oleh aksi korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap Rp8,1 miliar dari buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.

Sementara itu, sejumlah anggota TNI juga terlibat dalam aksi korupsi pada jabatan sipil seperti kasus yang menyeret mantan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya Henri Alfiandi.

Di sisi lain, Polri yang merupakan lembaga penegak hukum juga dinodai dengan kasus pemerasan yang menyasar sejumlah warga negara Malaysia konser DWP di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu. Oleh sebab itu, Julius mengaku pihaknya khawatir apabila ketiga RUU itu disahkan hanya akan menambah daftar panjang penyalahgunaan wewenang. 

Di sisi lain, kata dia, penambahan kewenangan itu juga bisa membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia jika akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

"Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasai mereka," tuturnya. 

Sementara itu, Julius mengatakan berdasarkan Indeks Rule of Law 2024 yang dirilis oleh World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat ke 68. Posisi ini justru menurun dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.

Ia menegaskan evaluasi sistem pengawasan internal bagi masing lembaga penegak hukum dan militer menjadi penting lantaran selama ini cenderung melanggengkan praktik impunitas.

Pengawasan internal yang lemah juga dapat berdampak pada pembiaran atau pelanggoran hukuman terhadap aksi-aksi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota penegak hukum dan militer. 

Sejalan dengan itu, kata dia, pemerintah dan DPR juga perlu menguatkan kepada lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, hingga Komnas Perempuan.

"Untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran," jelasnya.

"Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas eksternal ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup," imbuhnya.

Julius menegaskan reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen. 

"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI," pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya