Koalisi Sipil Desak DPR Setop Bahas RUU TNI, Polri dan Kejaksaan, Ini Alasannya
- VIVAnews/Anwar Sadat
Jakarta, VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan tegas menyampaikan penolakannya terhadap pembahasan RUU TNI, Poli dan Kejaksaan di DPR. Mereka menilai RUU ini bakal memperluas kewenangan instansi tersebut di tengah kinerja yang buruk.
"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI,” Kata Ardimanto, Direktur Imparsial, Minggu, 9 Februari 2025.
Ilustrasi Gambar Hukum
- vstory
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. World Justice Project (WJP) saat ini meletakkan Indonesia pada urutan ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024. Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.
Laporan ini menunjukkan, dari 8 dimensi Rule of Law, 6 di antaranya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, termasuk pada dimensi criminal justice.
Ardimanto selaku perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, data WJP itu tidak luput dari kondisi penegakan hukum di Indonesia. Seperti pada Akhir 2024, Indonesia dikejutkan dengan beberapa kasus yang mencoreng integritas lembaga penegak hukum.
Seperti kasus penimbunan uang Rp1 triliun oleh mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar dan peristiwa OTT terhadap tiga hakim di Surabaya.
Ada juga kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terbukti menerima suap sebesar Rp8,1 miliar dari Djoko Tjandra untuk mengatur kepulangannya ke Indonesia dan mengurus fatwa bebas di Mahkamah Agung yang mencoreng integritas Kejaksaan Agung.
“Termasuk di kepolisian dimana belakangan ini ada kasus pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran. Kasus ini jelas merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang oleh anggota kepolisian,” kata Ardimanto
Lain halnya dengan ke tiga lembaga penegak hukum yang disebutkan di atas, institusi TNI yang bukan sebagai lembaga penegak hukum, juga sempat mendapat sorotan tajam dari publik. Yaitu saat terjadinya kasus korupsi yang melibatkan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) saat itu Marsekal Madya Henri Alfiandi.
Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, kata Ardimanto, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya.
“Hal ini dapat dilihat melalui sejumlah draft RUU yang sudah di bahas oleh DPR pada periode lalu dan ditunda pengesahannya maupun RUU yang diusulkan untuk dibahas dalam periode legislasi 2025-2029. Diantaranya adalah draft RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kejaksaan,” kata Ardimanto.
Ilustrasi. DPR RI akan menggelar rapat paripurna DPR RI
- Antara
Ardimanto mengatakan, untuk RUU Polri sejatinya mendapatkan krtik tajam dalam pembahasan oleh DPR periode sebelumnya bersama dengan draft RUU TNI karena mengandung beberapa pasal yang kontroversial.
Dalam draft RUU Polri yang ditolak pada periode legislasi sebelumnya juga bermaksud menambah kewenangan lembaga tersebut, yaitu kewenangan melakukan pemblokiran terhadap konten digital yang dianggap membahayakan kepentingan nasional.
Sementara dalam darft RUU TNI yang beredar tahun lalu, terdapat usulan pasal yang memperluas kewenangan TNI menjadi lembaga penegak hukum. Draft RUU TNI itu juga ingin memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota militer aktif dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Pada periode ini, kata Ardimanto, DPR juga memasukkan revisi UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI ke dalam Prolegnas 2025, dengan salah satu alasannya untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XXI/2023 yang menganulir kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan PK.
“Situasi-situasi sebagaimana disebutkan, tentu seharusnya menjadi perhatian DPR dan para pengambil kebijakan. Harus diakui bahwa situasi penegakan hukum saat ini perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan,” kata Ardimanto
Ardimanto mengatakan yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi (good governance) dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasai mereka.
“Selama ini lembaga independen yang ada Kompolnas, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, dan lain-lain, hanya memiliki kewenangan terbatas, sehingga fungsi pengawasan tidak efektif dan akuntabilitas publik lemah,” kata Ardimanto
Berkaca dari sejumlah fakta di atas, Ardimanto yang merupakan perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil meminta Pemerintah serius melakukan reformasi sistem penegakan hukum. Dia mengatakan, Reformasi penegakkan hukum di Indonesia itu harus diarahkan pada dua hal yakni evaluasi dan memperkuat pengawasan.
“Pertama Pengawasan Internal. Pengawasan internal yang lemah seperti saat ini tentunya cenderung melonggarkan praktik jahat atau pelanggaran dilakukan oleh masing-masing aknum anggota penegak hukum,” kya Ardimanto
Kedua, memperkuat pengawasan eksternal terhadap masing-masing lembaga penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, Komnas Perempuan untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.
“Kami memandang bahawa Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen,” ujarnya