Pengamat: Reshuffle Kabinet Bukti Ketidakseimbangan Politik Pemerintah
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA — Reshuffle kabinet menyasar Menteri Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro. Pengamat politik Ray Rangkuti menyoroti hal ini sebagai sebuah preseden baru dalam pemerintahan pasca-reformasi, mengingat jarangnya seorang menteri dicopot hanya dalam 100 hari pertama masa jabatannya.
“Ini rekor, ya. Di era pemerintahan pasca-reformasi, ada menteri yang di-reshuffle hanya dalam 100 hari kerja. Ini sesuatu yang luar biasa,” ujar Ray Rangkuti dalam keterangannya, Rabu, 19 Februari 2025.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan bagaimana reshuffle ini berkaitan dengan angka kepuasan publik terhadap pemerintahan saat ini. Sebelumnya, sebuah lembaga survei melaporkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan mencapai 80,9 persen.
Namun, menurut Ray, realitas di lapangan justru menunjukkan ketidakpuasan yang signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Ray menyoroti ketidaksesuaian antara hasil survei dengan kondisi yang terjadi pasca-publikasi angka kepuasan tersebut. Ia menyinggung bagaimana, hanya beberapa hari setelah angka 80,9 persen itu diumumkan, masyarakat justru menghadapi berbagai permasalahan, termasuk kelangkaan gas di tingkat pengecer yang menimbulkan keresahan luas.
Pelantikan Mendikti Saintek, Kepala BPKP, Kepala BPS dan Kepala BSSN
- Setpres
“Kalau memang tingkat kepuasan itu setinggi itu, mengapa empat hari setelah survei diumumkan, masyarakat justru menghadapi kelangkaan gas? Coba kalau surveinya dilakukan ulang dua hari setelah kejadian itu, saya rasa angkanya tidak akan sampai 80,9 persen,” tegasnya.
Tak hanya itu, dalam dua minggu terakhir, gelombang demonstrasi mahasiswa juga semakin meningkat. Ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan berbagai tuntutan, sesuatu yang menurut Ray tidak sejalan dengan narasi kepuasan tinggi yang disampaikan lembaga survei.
“Kalau memang 80 persen lebih rakyat puas, tidak akan ada ribuan mahasiswa yang turun ke jalan, bukan? Seharusnya yang ada adalah Indonesia cerah dan puas, bukan sebaliknya,” tambahnya.
Bukti Ketidakseimbangan Politik
Langkah reshuffle ini juga dinilai sebagai indikasi bahwa ada ketidakseimbangan dalam pemerintahan saat ini. Jika kabinet telah bekerja secara efektif dan mendapatkan kepercayaan publik yang tinggi, menurut Ray, seharusnya tidak ada pergantian mendadak dalam waktu sesingkat ini.
Pergantian menteri di awal masa pemerintahan bisa menunjukkan dua hal. Pertama, adanya ketidakpuasan dari presiden terhadap kinerja menteri tersebut. Kedua, adanya tekanan politik dari pihak tertentu yang menginginkan perubahan di kursi pemerintahan.
Meskipun belum ada pernyataan resmi dari Istana mengenai alasan reshuffle ini, langkah tersebut tetap menimbulkan pertanyaan besar: Apakah reshuffle ini bagian dari strategi politik semata, atau benar-benar mencerminkan upaya perbaikan dalam pemerintahan?
Ray juga menyinggung kemungkinan bahwa angka kepuasan publik yang tinggi bisa jadi hanya bersifat manipulatif. Ia berpendapat bahwa angka tersebut mungkin digunakan untuk menciptakan persepsi positif terhadap pemerintah, meskipun realitasnya jauh berbeda.
“Angka 80 persen lebih itu bisa jadi kepuasan semu, kepuasan manipulatif. Sengaja dibuat untuk menutupi berbagai masalah yang terjadi di 100 hari pertama. Tapi faktanya, sehari setelah 100 hari itu justru muncul berbagai protes di lapangan,” ujarnya.
Jika kepuasan publik benar-benar setinggi yang diklaim, lanjut Ray, seharusnya tidak ada gejolak sosial yang begitu kuat. Namun, ketika ada masalah yang berdampak langsung pada masyarakat—seperti kelangkaan bahan bakar, lonjakan harga kebutuhan pokok, atau kebijakan yang dinilai merugikan—reaksi publik bisa sangat berbeda dari apa yang tergambar dalam survei.
Reshuffle ini menambah dinamika politik yang sudah berkembang sejak awal pemerintahan. Apakah ini langkah strategis untuk memperkuat kabinet, atau justru refleksi dari ketidakseimbangan politik di internal pemerintahan?
Yang jelas, dengan munculnya protes di berbagai daerah dan reshuffle mendadak ini, pemerintahan harus lebih berhati-hati dalam mengelola ekspektasi publik. Kepuasan yang tinggi di atas kertas tidak akan berarti jika realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Seiring dengan semakin besarnya sorotan terhadap kebijakan pemerintah, publik akan terus mengamati apakah perubahan ini membawa dampak positif atau justru menimbulkan ketidakstabilan yang lebih besar.