Tak Bisa Baca dan Tulis, Mbah Tupon di Bantul Jadi Korban Mafia Tanah
- VIVA.co.id/Cahyo Edi (Yogyakarta)
Bantul, VIVA – Tupon Hadi Suwarno (68) atau biasa disapa Mbah Tupon, warga RT 04, Dusun Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY terancam kehilangan tanah karena ulah mafia tanah. Tanah milik Mbah Tupon seluas 1.655 meter persegi dengan bangunan rumah di atasnya terancam terancam hilang karena disita dan akan dilelang bank.
Mbah Tupon menyebut perkara yang membelitnya ini berawal dari jual beli tanah yang dilakukannya. Saat jual beli tanah ini, Mbah Tupon dijanjikan akan dibantu proses pemecahan sertifikat untuk anak-anaknya.
"Kulo niku mboten iso moco mboten iso nulis. Kulo namung dijak terus dijaluki tanda tangan (saya itu tidak bisa membaca dan menulis. Waktu itu saya cuma diajak terus dimintai tanda tangan)," kata Mbah Tupon, Minggu 27 April 2025.
Mbah Tupon menceritakan saat ini dirinya bingung dan sedih atas kasus yang dialaminya. Setiap saat, Mbah Tupon selalu kepikiran dengan tanah dan rumahnya yang terancam hilang.
Mbah Tupon hanya punya keinginan agar kasus yang menimpanya ini bisa segera selesai dan tanah miliknya bisa kembali lagi.Â
"Pokoke sertifikat kulo saget wangsul ing tangan kulo malih (pokoknya saya mau sertifikat saya kembali ke tangan saya lagi)," terang Mbah Tupon.
Awal Mula Kasus
Putra pertama Mbah Tupon, Heri Setiawan (31) menceritakan kasus tersebut bermula saat Mbah Tupon menjual sebagian tanahnya pada tahun 2020. Kala itu, Mbah Tupon menjual sebagian tanahnya kepada seorang berinisial BR seluas 298 meter persegi.
Mbah Tupon sendiri memiliki tanah seluas total 2.100 meter persegi. Dari total kepemilikan tanah 2.100 meter persegi itu, tanah seluas 298 meter persegi kemudian dijualnya seharga Rp 1 juta permeternya dan dibeli oleh BR.
"Bapak tahun 2020 menjual sebagian tanahnya, luasnya 298 meter persegi. Kemudian bapak menyumbangkan tanahnya untuk gudang RT seluas 54 meter persegi dan untuk akses jalan seluas 90 meter persegi," ucap Heri.Â
Heri membeberkan dalam transaksi jual beli ini disepakati pembayaran dilakukan bertahap. Heri mengungkap saat itu BR masih memiliki kekurangan sebesar Rp 35 juta.Â
Tahun 2021 BR lalu menawarkan kekurangan pembayaran itu akan dilunasinya dalam bentuk membiayai pemecahan sertifikat tanah milik Mbah Tupon seluas 1.665 meter persegi.
Rencananya tanah seluas 1.665 persegi ini akan dipecah menjadi empat sertifikat. Empat sertifikat ini atas nama Mbah Tupon dan tiga orang anaknya.
Heri menceritakan keluarganya baru tahu jika tanah seluas 1.665 meter persegi itu ternyata justru sudah dibalik nama atas nama orang lain yakni IF saat ada petugas bank datang di bulan Maret 2024 lalu.
"Saya sama bapak ditunjukkan fotokopi sertifikat sama petugas bank. Luasnya 1.665 meter persegi dan lokasinya di sini tapi sertifikat sudah atas nama IF. Sertifikat tanah itu dipakai buat jaminan pinjaman ke bank sebesar Rp 1,5 miliar" terang Heri.
"Sejak awal meminjam, IF belum pernah mengangsur sama sekali. Petugas bank datang ke sini empat bulan setelah pinjaman dicairkan. Saat itu petugas bank bilang tanah sudah masuk pelelangan pertama," lanjut Heri.
Tahu jika sertifikatnya sudah dibalik nama atas nama IF, Heri dan keluarga pun datang ke BR untuk menanyakan kejadian sebenarnya. Saat itu, kata Heri, BR menyebut pihak notaris yang nakal dan berjanji akan melaporkannya ke polisi.
Heri menerangkan sebenarnya selama proses pemecahan sertifikat itu, Mbah Tupon sempat beberapa kali menanyakan perkembangan prosesnya kepada BR. Hanya saja BR selalu menjawab masih dalam proses.
Heri mengakui selama proses pemecahan sertifikat itu, Mbah Tupon sempat dua kali diajak TR yang merupakan orang kepercayaan BR ke dua tempat. Saat itu, Mbah Tupon diminta untuk menandatangi berkas.
"Bapak diajak ke Janti dan ke Krapyak. Saat itu bapak diminta tandatangan tapi bapak tidak tahu itu berkas apa. Bapak soalnya tidak bisa baca dan tulis," urai Heri.
"Saya tidak tahu kalau bapak diajak sama TR untuk tandatangan berkas. Bahkan saat TR minta tandatangan ketiga di rumah bapak, saya juga tidak tahu dan tidak dikasih tahu. Saat itu TR sempat minta uang Rp 5 juta untuk biaya pecah sertifikat," lanjut Heri.
Heri menambahkan usai kejadian itu dirinya melaporkan kasus dugaan mafia tanah ini ke Polda DIY. Total ada lima orang yang dilaporkan yakni BR, TR, IF selain itu ada dua orang notaris yakni TRY dan AR.