- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVAnews - Beberapa daerah secara resmi melarang keberadaan Ahmadiyah. Jaksa Agung Basrief Arief menilai sikap Pemerintah Daerah mengeluarkan keputusan tersebut sejalan dengan Surat Keputusan Bersana (SKB) tiga menteri.
"Saya kira tidak [bertentangan], itu sejalan," kata Basrief, di Kantor Presiden, Selasa 1 Maret 2011.
Basrief juga menilai Pemerintah Daerah lebih mengetahui kondisi masing-masing daerahnya.
Senada dengan Jaksa Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, mengatakan aturan daerah tentang pelarangan Ahmadiyah tidak perlu dipersoalkan. "Itu kewenangan kepala daerah," kata Patrialis di Kantor Presiden, 1 Maret 2011.
Menurut Patrialis, pelarangan Ahmadiyah sudah dilakukan sejak dulu. Peraturan Daerah tentang pelarangan Ahmadiyah juga dianggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau SKB Tiga Menteri.
"Dalam SKB malah memberi peringatan keras terhadap Ahmadiyah. Dilarang menyebarkan," kata dia
Sementara itu Koordinator Eksekutif Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menilai demonstrasi anti-Ahmadiyah yang dilakukan sejumlah organisasi agama menjadi tren pemicu keluarnya Peraturan Daerah yang melarang Ahmadiyah.
"Pasca Cikeusik, ada tren yang dibangun dalam merespons Ahmadiyah, yaitu mendesak lewat demontrasi agar Perda muncul," kata Haris di gedung LBH Jakarta, Selasa, 1 Maret 2011.
Dalam catatan Kontras, setidaknya ada 11 peraturan daerah dari level Bupati hingga Gubernur yang melarang adanya Ahmadiyah. Kontras menilai pemerintah lokal mudah ditekan untuk mengeluarkan aturan melarang Ahmadiyah. "Pemda lebih taat pada tekanan dari pada hak-hak kelompok minoritas," tegas Haris.