- ANTARA/ Widodo S. Jusuf
VIVAnews -- Rencana Polri meluncurkan Detasemen Anti Anarki minggu depan, menuai kritik. Ada yang menilai, detasemen itu tidak efektif dan memperkuat karakter Polri yang reaktif, represif dan paramiliteristik. Bahkan, dikhawatirkan berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam mengatasi kerusuhan massa.
Menanggapi keberatan dari banyak pihak, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, detasemen ini memiliki prosedur kerja. Sehingga, semua tindakan detasemen penanggulangan anti anarki bisa terukur.
"Saya kira semuanya tergantung pelanggaran itu sendiri. Kita semuanya bertindak tegas dan terukur, " kata Timur usai penandatanganan nota kesepahaman dengan Kadin di Jakarta, Jumat 4 Maret 2011. Detasemen Penanggulangan Anarki, lanjut Timur, tidak akan bertindak di luar prosedur yang telah ada.
Selain itu, Timur juga mengatakan pembentukan detasemen tidak menambah struktur di jajaran Polri. Karena, pada dasarnya detasemen ini merupakan bagian dari kesatuan yang telah ada.
"Saya kira tidak ada strutktur baru bagian dari satuan pengendalian huru hara yang diberikan kompetensi kemampuan untuk bagaimana menghadapi anarki," kata dia.
Untuk sementara, detasemen baru ini ini akan dibentuk di semua Polda di Pulau Jawa, Palembang, Medan, dan Makasar. Detasemen ini, merupakan implementasi dari Prosedur Tetap Nomor 01/X/2010 tentang Penanggulangan tindakan Anarkis atau yang sempat populer dengan 'protap tembak di tempat'.
Pembentukan detasemen ini merujuk pada dua rusuh yang terjadi hanya dalam tiga hari di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan Temanggung, Jawa Tengah.