Komnas Perempuan: Pidato SBY Kontradiktif

Aksi Untuk Ruyati
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Komnas Perempuan menilai, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menanggapi eksekusi mati Ruyati binti Satubi, kontradiktif dengan pidatonya di Jenewa, Swiss 15 Juni 2011 lalu.

Presiden SBY dinilai ragu terhadap komitmennya yang telah diungkapkan dalam forum konferensi perburuhan Internasional ke-100.

"Pernyataan presiden soal kemungkinan larangan warga negaranya untuk menjadi PRT migran kontradiktif dengan apa yang disampaikan dalam forum konferensi perburuhan yang secara tegas sudah mengakui peran PRT dan kontribusinya bagi negara," ujar Komisioner Komnas Perempuan, Tumbu Saraswati dalam keterangan pers di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat 24 Juni 2011.

Saraswati menuturkan, seharusnya pengakuan terhadap PRT harus diikuti dengan pemenuhan dan perlindungan hak-haknya. Keraguan pemerintah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak PRT baik di dalam negeri maupun di luar negeri dinilai merupakan sumber masalah yang memperlemah diplomasi pemerintah RI.

"Padahal masih banyak Ruyati-Ruyati lainnya yang terancam hukuman mati. Sebagian besar adalah berprofesi sebagai PRT," ucapnya.

Langkah moratorium TKI khususnya PRT migran, menurut Saraswati, harus diiringi dengan perbaikan-perbaikan sistem perlindungan, pemenuhan hak-hak dan penempatan kerja pada PRT.

Jika tidak dilakukan langkah-langkah perbaikan tersebut, justru moratorium  akan menimbulkan masalah baru. "Yaitu migrasi illegal. Karena faktanya di tanah air tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai," tegasnya.

Oleh karena itu, dalam pernyataan sikapnya, Komnas Perempuan mendorong Presiden SBY merealisasikan komitmen pemerintah RI yang disampaikan di Jenewa dalam setiap kebijakannya, untuk mengakui dan melindungi PRT. Baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selain itu, Komnas Perempuan juga mendorong pemeintah segera bertindak konprehensif menyelamatkan WNI/PRT yang terancam hukuman mati. Dengan memberikan bantuan hukum yang memadai dan memasukkan perspektif korban untuk kebenaran dan keadilan.

"Komnas Perempuan juga akan mengirimkan surat kepada Raja Abdullah dari Kerajaan Arab Saudi untuk meminta pengampunan atas beberapa WNI/PRT migran Indonesia yang diancam hukuman mati," ujar komisioner lainnya, Agustinus Supriyanto.

Komnas juga mendesak Presiden segera mewujudkan implementasi konkret komitmen tersebut dalam bentuk pengesahan RUU PRT. "Kasus Ruyati tidak akan terjadi kalau kita dari dulu mendengar yang peduli pada buruh migran untuk segera melaksanakan ratifikasi UU buruh migran tahun 1990. Juga revisi UU 39 tahun 2004," kata Saraswati. (eh)

Kasus Uang Tutup Mulut Donald Trump Seret Nama Karen McDougal, Siapa Dia?
Anthony Sinisuka Ginting melawan Viktor Axelsen di Thomas Cup

Sejarah Tercipta Thomas Cup dan Uber Cup, Sempat Tertunda Gegara Perang Dunia II

Thomas Cup dan Uber Cup merupakan salah satu kompetisi bulutangkis bergengsi di dunia dengan menggunakan sistem beregu putra dan putri.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024