Amuk Dahsyat Papandayan, Akankah Berulang?

bekas letusan Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Jawa Barat
Sumber :
  • Antara/ Feri Purnama

VIVAnews  –  Hampir tengah malam, antara tanggal 11 dan 12 Agustus 1772, sebuah awan bercahaya misterius nampak dari barat daya Garut, Jawa Barat. Langit pun membara, disusul suara menggelegar.  Pijar lava panas yang membara muntah dari Kawah Mas terlihat selama sekitar lima menit. Namun yang palling fenomenal adalah runtuhnya sebagian badan gunung.

Meski tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, peristiwa amuk Papandayan dicatat oleh seorang naturalis, doktor, botanikus, geolog, dan pengarang, Franz Wilhelm Junghuhn. “Dengan suara menggelegar dan gemeratak yang hebat, setelah tengah malam, mendadak tampak membumbung ke atas sinar-sinar terang, yang menerangi kegelapan, memecah-mecah puncak gunung, melemparkan dan menyebar bongkah-bongkahnya ke sekitarnya,” demikian catatan  Junghuhn.

Penggambaran mengerikan meletusnya Papandayang juga diungkap dalam buku  “Natural Disaster” karya Lee Davis. “Secara harafiah, Papandayan hancur dengan sendiri hingga berkeping-keping.  Lalu, tenggelam ke danau lava besar  bersulfur.”

Sebelum malapetaka ini terjadi, warga 40 desa  tinggal dengan nyaman  di lereng Papandayan yang subur.  Terbiasa dengan uap dan aroma belerang tipis  yang ke luar dari puncak.

Apa yang terjadi tahun 1772 itu tanpa peringatan. Tanpa gemuruh peringatan, seluruh gunung meledak, 40 desa  beserta hampir 3.000 penduduk dan hewan-hewan ternak terhisap ke danau lava mematikan.  “Area yang terhisap  seluas 15 kali 6 mil.  Tak ada lukisan kiamat karya maestro Michael Angelo dan Gustave Dore yang bisa menggambarkan horor Papandayan: sebuah gunung yang tenggelam bersama manusia yang ada di lerengnya. “  Saking hebatnya letusan, kawah gunung yang awalnya kerucut berubah menjadi tapal kuda, membuka ke arah timur laut.

Setelah itu, Papandayan  mengalami masa tenang. Sampai 11 Maret 1923 saat kawah Papandayan (kawah Mas) mulai bergejolak kembali hingga 9 Maret 1925. Selama 2 tahun, letusan kecil kerap terjadi.  Dalam periode itu juga terjadi kejadian menghebohkan. Konon, pada 18 Desember 1924, seorang mantri bernama Ruslan tewas  di sebuah lembah karena menghirup gas klorin (Cl2). Lembah di mana dia tewas lalu dikenal sebagai Lembah Maut atau Lembah Ruslan.

Pada erupsi terakhir tahun 2002, terjadi 3 episode erupsi dimulai dari erupsi freatik tanggal 11 November yang menyebabkan dinding kawah Nangklak runtuh dan material longsoran masuk ke aliran sungai Cibeureum Gede dan menyebabkan banjir bandang. Pada tanggal 15 November, terjadi erupsi eksplosif dan terbentuk kawah Baru 2002. Kemudian pada tanggal 20 November directed lateral blast terjadi dimana material vulkanik keluar dari kawah Nangklak sepanjang 1 km dengan arah timur laut.

Bagaimana saat ini?

Seperti diketahui,  pada tanggal 13 Agustus 2011 pukul 04:00 WIB Papandayan naik status dari Waspada menjadi Siaga karena adanya peningkatan aktivitas,. Hingga Senin 22 Agustus  2011, status itu belum juga diturunkan. “Kalau dilihat dari gempanya, kemarin 15, sekarang dua, dikatakan menurun, silakan. Tapi kalau besok naik 45, bagaimana?,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, kepada VIVAnews.com, Senin sore.

Dia menambahkan, status  Papandayan  masih tetap dipertahankan. “Saya mengerti , pedagang pinggir kawah biasanya dapat rejeki saat lebaran, karena  status siaga tak ada orang yang beli. Saya sedih tapi apa mau dikata, alam tak bisa diprediksi,” tambah Surono.

Doktor lulusan Savoei University, Prancis itu menjelaskan, Papandayan pernah pernah meletus dahsyat tahun 1772. Hampir 3.000 orang tewas, 40 desa terkubur.  “Sangat parah sekali, kita tidak berharap itu terjadi. Kalau harapan saya, Papandayan setelah Siaga turun, tidak usah meletus. Jangan sampai terjadi seperti tahun 2002,” kata dia.

Surono menambahkan, letusan pada 2002 sungguh di luar dugaan. “Dalam kondisi tidak (berstatus) Siaga, tidak apapun. Sangat cepat, krisis sehari langsung jlegar!.”

Apakah mungkin Papandayan bisa meletus seperti tahun 2002 atau bahkan 1772? “Que sera sera (apapun yang terjadi, terjadilah). Namun, sesuatu di alam pernah terjadi pasti terjadi lagi entah kapan,” jawab Surono.

Menurut dia, lebih baik bersiap siaga, kalaupun nantinya tak terjadi apapun, itu masalah lain. Ketimbang, mempertaruhnya nyawa ribuan orang. “Kalau salah, paling saya yang dipecat. Tapi kalau saya ragu, sekian ribu orang jadi korban, itu masalah besar. Yang terpenting, saat ini saya mengawasi gunungnya,” tambah Surono.

Jelang lebaran, Mbah Rono -- demikian julukan pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah itu  -- juga disibukkan dengan rapat dengan sejumlah pemerintah daerah. Masih terkait gunung berapi. “Besok (hari ini) ada pertemuan Provinsi Jabar  terkait antisipasi lebaran,  tanggal 24 Agustus 2011 terkait aktivitas tiga gunung berstatus Siaga di Sulawesi Utara. Pemda ingin tahu.” (eh)

Sekjen Gerindra Sebut Prabowo "The New Sukarno"
Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan

Airlangga: Kader Golkar Siap Ditempatkan di Legislatif maupun Eksekutif

Airlangga Hartarto mengatakan kader Golkar siap ditempatkan di legislatif maupun eksekutif. Dia menanggapi peluang keterlibatan Golkar dalam kabinet Prabowo-Gibran.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024