MK Tolak Unsur DPR di Majelis Kehormatan

Mahfud MD Dan Marzuki Alie
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Uji materi UU MK tersebut diajukan oleh Saldi Isra, Yuliandri, Arief Hidayat, Zainul Daulay, Zainal Arifin Mochtar, Muchamad Ali Safa'at, Fatmawati, dan Feri Amsari. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa 18 Oktober 2011.

Menurut Mahfud, pengajuan pemohon dikabulkan sebagian, sebab permohonannya beralasan menurut hukum, misalnya Pasal 15 ayat 2 huruf h yang memuat frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara.” MK menilai, syarat menjadi Hakim MK dalam pasat tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Dengan kata lain, frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara” dalam UU MK tidak memberikan kriteria yang jelas.

Pasal 26 ayat 5 dalam UU MK juga dinilai inkonstitusional sebab menyatakan, “Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya.”

Norma pasal tersebut dinilai MK menimbulkan ketidakadilan bagi seorang yang terpilih, sebab yang bersangkutan hanya melanjutkan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. Hal itu bertentangan dengan Pasal 22 UU MK yang secara tegas menyatakan, “Masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.”

Dari semua pasal yang diajukan para pemohon, MK menolak Pasal 57 Ayat 2a, sebab pasal itu tidak mempunyai hukum mengikat. Sedangkan  Pasal 4 ayat f, g, dan h, Pasal 10, Pasal 15 ayat 2 huruf d dan h, Pasal 26 ayat 5, Pasal 27A ayat 2 huruf c, d, dan e, Pasal 50A, Pasal 59 ayat 2, dan Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011, diterima sebab memiliki dasar hukum.

Pasal yang digugat pemohon mengatur banyak hal teknis dalam organisasi Mahkamah Konstitusi, antara lain, soal pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK satu paket, padahal sebelumnya dilakukan terpisah karena menunggu masa jabatan habis atau memasuki usia pensiun.

Di sisi lain, MK menilai masuknya unsur DPR, pemerintah, dan satu orang hakim agung dalam Majelis Kehormatan MK yang bersifat permanen, justru mengancam dan menggangu kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.  Keberadaan mereka dianggap berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, karena DPR, pemerintah, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial dapat menjadi pihak yang beperkara di MK.

“Pasal ini harus dibatalkan sebab bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Mahfud.

Kuasa hukum pemohon, Wahyudi Djafar menilai wajar gugatan kliennya dikabulkan MK, sebab UU MK yang baru tersebut sengaja didesain untuk melemahkan MK. “Hanya satu saja yang tidak dikabulkan, dan hasil ini bagus,” kata Wahyudi.

Untuk diketahui, uji materi dilakukan para pemohon terhadap pasal-pasal di atas, karena dinilai  merusak dan melemahkan MK. Pasal-pasal itu adalah Pasal 4 ayat f, g, dan h, Pasal 10, Pasal 15 ayat 2 huruf d dan h, Pasal 26 ayat 5, Pasal 27A ayat 2 huruf c, d, dan  e, Pasal 50A, Pasal 57 ayat 2a, Pasal 59 ayat 2, dan Pasal 87 UU Nomor 8 Tahun 2011. (umi)

Sidang PHPU, KPU Tepis Sirekap Jadi Bagian Kecurangan Pemilu
Ilustrasi lahan.

Kasus Pemalsuan Surat Lahan, Gubernur Kepri Sebut Bisa Diselesaikan dengan Musyawarah

Dalam hal ini Alson selaku juru bicara Polres Bintan, jelaskan bahwa pemanggilan Hasan sebagai saksi terkait kasus dugaan pemalsuan surat lahan di Kecamatan Bintan Timur.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024