Catatan Agus Wiyarto:

Mbah Maridjan, Wawan & Setahun Erupsi Merapi

Setahun Erupsi Merapi 26 Oktober 2011
Sumber :
  • ANTARA/ Wahyu Putro A

VIVAnews - Tepat 26 Oktober setahun lalu, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta meletus. Letusan dahsyat berlangsung mulai pukul 17.02 WIB dengan semburan awan panas dan material vulkanik menerjang lereng Merapi sisi barat dan selatan.

Terpopuler: Artis Keturunan Darah Biru sampai Proses Kelahiran Anak Perempuan Alyssa Soebandono

Semburan awan panas dan material vulkanik gunung setinggi 2.968 meter di atas permukaan laut ini mengakibatkan pemukiman yang berada di lereng Merapi hancur. Ribuan warga Sleman, Magelang dan Klaten mengungsi ke lokasi yang lebih aman dan puluhan warga meninggal dunia.

Salah satu korban ganasnya awan panas Merapi adalah sahabat kami, redaktur VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nugroho atau sering dipanggil Wawan. Saat itu, Wawan yang sudah sempat mengungsi ke lokasi aman, kembali naik ke kediaman Mbah Maridjan untuk menjemputnya. Namun, awan panas lebih cepat menyapu kawasan desa Kinahrejo.

Bukan Dibakar, Begini Cara Buktikan Keaslian Madu Murni

Hari ini, Rabu, 26 Oktober 2011, tepat setahun erupsi Merapi, orang dekat Mbah Maridjan, Agus  Wiyarto yang juga mantan anggota DPRD Bantul menuliskan detik-detik bersama Wawan, juru kuncu Merapi Mbah Maridjan dan kepanikan warga saat erupsi berlangsung. Berikut tulisan Agus Wiyarto:

Perkenalan saya dengan Yuniawan Wahyu Nugroho atau Wawan terbilang sangat pendek. Ketika tahun 2007 kami sama-sama memenuhi undangan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) atau Yayasan Friedrich Naumann sebuah yayasan lembaga kajian untuk politik liberal yang berasal dari Jerman. Saat itu Wawan masih bekerja pada sebuah harian sore Suara Pembaruan. Selama dua minggu di Jerman,  kami banyak melakukan diskusi berbagai hal. Setelah itu, selama 3 tahun kami tidak lagi bertemu, hanya berhubungan melalui SMS, itupun hanya sekedar bertegur sapa.

Kamis 21 Oktober 2010 pagi hari telepon saya berdering. "Hallo Pak Agus, saya Wawan, saya sekarang bekerja di Vivanews", suara di ujung telepon. Selayaknya dua sahabat yang lama tidak ketemu, kami saling sapa dan ujungnya Wawan menyampaikan niatnya untuk meliput aktifitas Gunung Merapi yang saat itu berstatus Siaga sekaligus mewawancarai Mbah Maridjan. Rencananya Wawan akan datang  ke Yogyakarta.

Wakil Ketua DPD Mahyudin Harap Keberhasilan Timnas Indonesia U-23 Memotivasi Anak Muda Bangsa

Karena malam harinya saya memang akan menyelenggarakan acara sosialisasi bahaya erupsi Merapi di rumah Mbah Maridjan bersama warga dengan menghadirkan BPPTK, maka saya mengajak Wawan datang pada acara tersebut. Namun dia minta waktu untuk konsultasi dengan kantor dulu. Sore hari, Wawan mengirim sms bahwa dia belum bisa ke Yogyakarta karena masih menunggu ijin dari kantor.

Jum’at, 22 Oktober 2010 siang hari, Wawan kembali telepon yang intinya menanyakan hasil pertemuan warga dengan BPPTK bahwa potensi erupsi tahun ini lain dibandingkan tahun sebelumnya, karena ada kemungkinan letusan explosive dan warga diharapkan meningkatkan kewaspadaan.

“Pak Agus… saya ingin segera kesana. Saya sedang mempersiapkan peralatan dan ijin dari kantor..” kata Wawan lagi.

Senin 25 Oktober 2010 pukul 17.04 WIB,  sms Wawan yang masih tersimpan di HP saya. “Pak Agus besok saya ke Jogja nggih, mugi-mugi kepanggih matur nuwun (semoga ketemu, terima kasih-red) dukungannya”

Setelah menerima sms tersebut, saya telepon Wawan. Dia mengatakan bahwa berangkat pukul 12.30 dari Jakarta.  "Nanti saya langsung diantar teman ke rumah Pak Agus kira-kira pukul 15.00 WIB," kata Wawan.

Karena posisi rumah saya di Bantul dan terlalu jauh dari Bandara, maka saya telepon Wawan janjian ketemu di Apotik Kentungan, Jalan Kaliurang, yang searah dengan jalur menuju Kinahreja, desa Mbah Maridjan.

Selasa 26 Oktober 2010, status Gunung Merapi naik menjadi Awas Merapi yang berarti status tertinggi dimana tanda-tanda erupsi sudah terjadi.

Sejak pagi hari saya telah mempersiapkan diri untuk ikut meng-evakuasi dan ‘ngoprak-oprak’ warga agar untuk sementara waktu mengungsi. Bahkan saya sudah menulis sms, “Segera turun kebarak pengungsian sekarang” (Agus Wiyarto) dan berisikan memory nomer HP tokoh masyarakat sekitar lereng Merapi.

Saya simpan di draft, yang setiap saat tinggal kirim. Saya juga mempersipkan 500 masker dan tak lupa kamera. Saya juga membawa seperangkat ‘baju pranakan’ dengan maksud, apabila Mbah Maridjan tidak mau turun, maka saya akan mengenakan baju pranakan (baju abdi dalem kraton) dan membujuk Mbah Maridjan, karena secara hirarki  yang diberikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada saya lebih tinggi (KRT).

Pukul 14.30 WIB, Tutur Priyanto relawan PMI Bantul datang di rumah saya di kawasan Karangjati dengan memakai baju hitam-hitam kebanggaannya setiap kali menjadi relawan. Dia mengenakan pin PMI di krah bajunya.  Di samping membawa handphone, Tutur juga membawa alat komunikasi berupa HT.

Pukul 15.00 WIB,  kami berdua berangkat dengan mengendarai Suzuki APV Nopol AB 1053 DB warna biru telur. Selama perjalanan, Tutur mengemudikan mobil agak kencang. Saya masih sempat mengingatkan. "Gak usah buru-buru."  Tapi nampaknya dia ingin segera sampai ke Kinahreja.

Pukul 15.30 WIB, kami sampai di Jalan Kaliurang, di halaman Apotik Kentungan. Saya mencoba menghubungi Wawan, namun masih mail box.

Pukul 16.20 WIB, Wawan datang diantar  motor oleh temannya (Ndaru), sambil menenteng helm warna putih, mencangklong tas ransel. Wawan menyambangi kami dan mohon maaf keterlambatannya karena pesawat delay.

Kami bertiga segera berangkat ke Kinahrejo, rumah Mbah Maridjan.  Tutur mengemudi, saya di depan dan Wawan duduk di belakang. Di dalam mobil selama perjalanan saya memperkenalkan Tutur dengan Wawan. Dalam perjalanan itu pula, Wawan menyatakan niatnya untuk menginap di rumah Mbah Maridjan sampai Rabu sore. Saya jawab, kalau kondisinya memungkinkan silahkan, tapi kalau berbahaya kamu harus ikut turun.

Pukul 16.45 WIB kami mampir di warung sate Pak Juki di dusun Balangan, yang letaknya sekitar 5 Km dari Kinahreja.

Pukul17.15 WIB, kami berangkat dari dusun Balangan. Baru sekitar 100 meter handphone  saya berdering, panggilan dari Pak Muzani (BPPTK) yang meng-informasikan bahwa Merapi telah meletus mengarah kebarat dengan jarak luncur 7 km, dan minta kepada saya untuk membantu meng-evakuasi warga. Saat menerima telepon dari Pak Muzani, speaker hendphone saya buka, mereka berdua mengetahui secara jelas isi pembicaraan kami.

Tanpa dikomando Tutur yang memegang kemudi langsung tancap gas menuju Kinahreja yang jaraknya hanya sekitar 5 KM. Sementara saya langsung kirim sms yang sudah saya siapkan ke warga, Wawan juga saya lihat membuka tas ranselnya dan mengeluarkan kamera dan tas kecil.

Dalam kecepatan tinggi, saya melihat Wawan telepon. Entah siapa yang ditelepon saat itu.

Beberapa saat kemudian kami sampai di balai desa Umbulharjo, yang tempat itu juga dipakai sebagai barak pengungsian. Nampak jalan raya di depan balai desa ditutup portal pakai palang kayu. Sampai di portal, kami berhenti sejenak.  Lurah Umbulharjo, Bejo Mulyo begitu melihat saya langsung memerintahkan untuk membuka pintu portal dan kami segera tancap gas lagi menuju Kinahreja yang tinggal sekitar 3 km.

Di sepanjang jalan menuju Kinahrejo, kami melihat warga mulai berkumpul di pinggir jalan namun kami juga tidak bertemu dengan kendaraan yang mengangkut untuk evakuasi. Tutur sebagai relawan yang saat itu mengemudikan mobil yang kami tumpangi berkata singkat” “Kok belum diangkut ya pak? Saya tidak menjawab dan kami hanya berpandangan, mobil terus melaju.

Selama perjalanan kami sempat diskusi singkat tentang apa yang akan kami lakukan : ibarat kapal akan karam, yang pertama diselamatkan adalah penumpangnya  kemudian awaknya yang terakhir kaptennya. Kami sepakat.

Saya juga sempat pesan dengan Tutur, agar kita langsung menuju rumah Mbah Maridjan, karena di sana banyak kumpul orang dan kita bisa umumkan evakuasi via masjid. “Mas Tutur gak usah turun dari mobil, usahakan mobil menghadap ke jalan, pintu dibuka dan mesin jangan sekali-kali dimatikan, agar proses evakuasi bisa cepat.”

Sesampai di pertigaan Ngrangkah, Dusun Pangukreja yang berbatasan dengan Dusun Kinahreja, kami melihat beberapa wartawan dan pemuda setempat berkumpul, saya sempat teriak agar mereka segera turun.

Pukul 17.30 WIB, kami sampai di dusun Kinahreja dan langsung menuju kediaman Mbah Maridjan. Keadaan sekitar rumah Mbah Maridjan ayem tentrem tidak ada tanda-tanda bahwa Gunung Merapi sudah meletus, padahal jarak puncak ke dusun kinahreja hanya 4 km.

Di sana kami bertemu dengan beberapa wartawan diantaranya yang saya kenal saudara Azam dari Radar Jogja, saya langsung minta mereka turun, dan Azam dan kawan-kawan langsung tancap gas pakai motor.

Di halaman rumah Mbah Maridjan, Tutur langsung memutar balik mobil ke arah jalan. Saya dan Wawan turun dan disambut oleh saudara Itong (pendaki asal Jogja yang mulai pagi berada di rumah Mbah Maridjan) . “Mas Agus kok baru naik, sampeyan sejak tadi dirasani simbah kok sampeyan belum sampai Kinahreja ?

Saya langsung menuju rumah Asih, putera Mbah Maridjan yang berada di samping rumah Mbah Maridjan

"Assalamualaikum…
"Walaikumsalam… " jawab Mursani istri Asih. 
"Mbak, Asih di mana?"
"Di masjid…,"  jawab Mursani.
"Merapi sudah meletus, turun sekarang !!!
"Sekarangi??? … lha simbah bagaimana..?"
"Urusanku, cepat bocah bocah diajak turun, yang lain naik mobil saya… mobilnya Asih suruh ngeluarin sekalian."
"Wan… kamu bisa stir mobil…"
"Bisa mas…"
"Mbak Mursani, kunci mobilnya biar dibawa Mas Wawan…"

Kemudian saya dan Wawan masuk kerumah Mbah Maridjan, Mbah Maridjan mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu, sementara Tutur tetap berada di dalam mobil.

Saat itu Simbah Maridjan memakai sarung kotak-kotak, baju koko warna putih. Wawan duduk di sebelah simbah dan saya duduk berhadapan

"Kang ora basa basi… Merapi wis metu ngulon 7 km… bocah-bocah tak gawa." Belakangan saya agak menyesal kenapa saya tidak mengajak simbah turun, meski saya yakin dia juga gak bakalan mau.
"Nggih… " jawab simbah singkat

Selanjutnya saya dan Wawan mau keluar rumah untuk membawa turun keluarganya Mbah Maridjan dan warga lainnya,  Di depan pintu kami berpapasan dengan banyak orang yang baru datang (sekitar 30 orang). Mereka tampak ceria gak paham situasi, perkiraan saya mereka justru baru turun dari arah obyek wisata lava tour Bebeng.

Di luar ternyata ada sekitar 6 mobil dan menghalangi posisi keluarnya mobil kami (apv). Saya mulai panik, segera saya keluar mencari pengemudi mobil-mobil ini sambil teriak sambil menggebrak mobil-mobil itu

Saya melihat Wawan memegang handphone dan telepon terus, (entah telepon siapa saya gak tahu)

Tutur Nampak tetap di atas mobil, mesinnya hidup dan pintunya dibuka…

Pengemudi mobil yang baru datang cukup tanggap, mereka juga segera memutar mobilnya.

Sementara saya melihat di masjid masih banyak warga yang akan sholat berjamaah,  bahkan Mursani istrinya Asih membawa rukuh naik ke masjid

Saya melihat abu tipis sudah mulai turun. Segera saya masuk lagi kerumah Mbah Maridjan.

Di dalam ruang tamu, banyak sekal orang duduk ngobrol, sementara Mbah Maridjan diam dan tertunduk.

Saya segera  dan minta kepada salah satu tamu yang duduk berhadapan dengan Mbah Maridjan untuk pindah. Ketika saya sudah duduk berhadapan dengan simbah, terdengar adzan maghrib… saya sempit melirik jam tangan 18.10

Setelah kumandang adzan selesai, saya bilang kepada simbah. “Mbah wis adzan”.

Nampak Mbah Maridjan kaget.  “Nggih saya tak sholat riyin”.
Mbah Maridjan meninggalkan kami dan masuk ke kamarnya yang terletak hanya bersebelahan dengan ruang tamu. Begitu Mbah Maridjan masuk kamar, meja di depan saya gebrak sambil teriak.  “Semua keluar, turun secepatnya, Merapi sudah meletus…”

Mendengar saya berteriak, tamu yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak bapak setengah tua segera berhamburan keluar dan naik mobil dan turun meninggalkn Kinahreja.

“Mas Tutur tolong mobil dipepetkan ke jalan, dan Itong segera mobilnya Asih dikeluarkan…”

Saat itu Mbah Maridjan keluar dari rumah mengenakan sarung kotak-kotak dan telah berganti baju batik kesayangannya warna hijau dan berjalan tenang menuju masjid

Pukul 18.20 WIB: iqomah, saya dan Wawan di depan masjid

Pukul 18.21 WIB: salat isya', saat ruku’ rakaat pertama terdengar suara sirine tanda erupsi Merapi. Langit sudah kemerahan abu semakin tebal, sesekali terdengar suara krak.. krak.. dari arah luar dusun.

Belakangan saya baru tahu suara pohon diterjang awan panas.
Saya sempat lari menuju mobil untuk segera lari, tapi saya inget melihat norma cucunya mbah maridjan yang masih berusia 6 tahun yang ikut sholat menangis jerit-jerit, saya lalu kembali ke masjid dan berdiri didepan pintu masjid sambil menunggu sholat selesai.

Begitu selesai salam, langsung anak-anak dan warga kami paksa masuk ke dalam mobil. Meski berdesak-desakan, kami paksakan sampai tak ada ruang lagi untuk dimasuki. Namun apa daya masih banyak yang belum terangkut. Saat kami meninggalkan masjid, saya masih melihat untuk terakhir kalinya Mbah Maridjan masih wiridan di dekat mimbar. Sarno (muadzin) juga masih wirid dan Slamet sedang wudlu.

Dua buah mobil beriringan turun, sampai di jalan raya masih banyak warga yang menunggu angkutan sambil berlarian turun. Saat itu Tutur bilang kepada saya. “Pak masih banyak… masih banyak…"

Sementara Wawan ikut turun. "Seharusnya saya bersama simbah. Seharusnya saya bersama simbah.." kata Wawan.

Hujan abu semakin tebal…. Saya berteriak. Turun…turun…turun…Mobil APV dan Kijang punya Asih melaju kencang, tidak sampai 5 menit sudah sampai di barak pengungsian Balai desa Umbulharjo.

Selama perjalanan turun kami tidak bertemu kendaraan naik yang akan dipakai evakuasi.

Sesampai di barak pengungsian, penumpang warga kinahreja turun semua karena mereka akan mencari sanak saudara yang terpisah-pisah…

Sementara keluarga Mbah Marijan putrid anak cucunya tetap didalam mobil karena mereka dicari wartawan untuk diwawancarai.

Dalam kondisi serba panik, saya berunding dengan Tutur dan Wawan. Akhirnya kami  memutuskan untuk membawa keluarga Mbah Maridjan untuk saya ungsikan di rumah saya di Jalan Kaliurang.

Disaat saya turun dari mobil Suzuki APV untuk membertahu dan membawa keluarga Mbah Maridjan, Tutur dan Wawan memutar balik mobil.

Saya sempat mengejar dan berpesan. "Hati-hati, jangan terlalu berani, berbahaya…"

Tutur hanya menjawab singkat. "Siap!" Dan mobil melaju kencang mengarah ke Kinahreja untuk mengevakuasi warga yang masih tertinggal.

Tidak sampai 10 menit kemudian, saya mendengar Kinahreja terbakar, dan mobil beserta penumpangnya , Wawan dan Tutur beserta Mbah Maridjan dan sejumlah warga lainnya turut menjadi korban.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya