Penyanyi yang Dicap PKI Menggugat Negara

Peringatan Tragedi 30 September 1965
Sumber :
  • Foto:ANTARA/Sigid Kurniawan

VIVAnews - Nona Nani Nuraeni, satu dari sekian banyak warga yang dicap sebagai komunis di masa Orde Baru berkuasa. Perlakuan diskriminatif sebagai warga negara dialaminya.

Padahal, dahulu, dia hanya seorang wanita yang berprofesi sebagai penyanyi dan penari istana era Presiden Soekarno. Nani pun tak tahu, kenapa dia dicap sebagai komunis.

Memang kebetulan, Nani pernah diminta menyanyi pada ulang tahun Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Namun, usai menyanyi di hari jadi PKI, ke esokan harinya Nani dituduh sebagai komunis.

Mengenal Sepak Terjang Karier Alvina Elysia, Dirut Perempuan di Anak Perusahaan Pupuk Kaltim

"Saya dituduh komunis. Rumah saya digeledah. Saya saja tidak tahu soal-soal begituan," ujar Nani saat berbincang dengan VIVAnews.com, Senin 19 Desember 2011.

Saat rumahnya digeledah, Nani mengaku tengah berada di Jakarta. Ayahnya, Raden Baya Affandi pun akhirnya dijadikan sandera supaya Nani pulang dan menjelaskan. Mengetahui ayahnya dijadikan sandera, Nani segera pulang dan ayahnya dilepaskan. Nani pun tak ditangkap.

Namun, berjalannya waktu, tepatnya pada 23 Desember 1968, Nani kemudian ditahan oleh pemerintah. "Ketika saya lagi tidur nyenyak, tiba-tiba digedor dan kemudian ditahan. Saya lalu dimasukkan ke penjara wanita Bukit Duri, pada Januari 1969," jelasnya. 

Selama enam tahun dipenjara, tanpa ada proses hukum di pengadilan, 19 November 1975 Nani dinyatakan sebagai tahanan rumah karena sakit. Kemudian, selang setahun, dia pun bebas penuh. "Tapi tahun 1977, KTP saya ditandai. Tapi saya masih diam saja," imbuhnya.

Tak hanya sampai disitu pernderitaan Nani sebagai warga negara yang bebas. Gara-gara kasus kerusuhan Tanjung Priok 12 September 1984, dia kembali mengalami perlakuan diskriminatif dari pemerintah. Dia harus wajib lapor sebulan sekali ke kelurahan dan tiga bulan sekali ke kecamatan. Padahal, dia mengaku tidak ada kaitan apa-apa dengan peritiwa tersebut. Nani pun dilarang ke luar negeri.

"Yang paling fatal, pada tahun 2003, saya tidak mendapatkan KTP seumur hidup seperti orang-orang yang sudah seusia ibu," ucapnya.

Padahal berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 1/1996, Nani mestinya berhak mendapatkan KTP seumur hidup karena Nani sudah berusia 60 tahun lebih.

Iran Bantah Rudal Israel Meledak di Isfahan: Itu Drone yang Ditembak Jatuh

Atas dasar itulah, dia melakukan gugatan terhadap pemerintah melalui PTTUN. "Ibu menang di pengadilan hingga ke Mahkamah Agung pada 2008," katanya.

Nani akhirnya bebas dari tuduhan yang berbau komunis pada 24 september 2008 berdasarkan surat putusan Mahkamah Agung.

Saat inilah, dia menilai, sudah waktunya melakukan langkah hukum untuk membersihkan nama baiknya. "Sekarang lah saatnya saya harus mengembalikan nama baik. Saya minta negara melalui pemerintah merehabilitasi nama saya dan mengganti kerugian yang saya alami selama ini," tuturnya.

Nani menggugat negara untuk meminta maaf dengan mengganti kerugian material senilai Rp7 miliar lebih dan imaterial Rp 30 juta.

TNI Berduka, Letkol Marolop Meninggal Dunia 2 Hari Usai Serahkan Jabatan Komandan Kodim di Papua

Dia punya alasan menggugat senilai itu. Dia menghitungnya sejak tahun 1970 dipecat dari pekerjaannya dengan gaji saat itu Rp 7.400. "Berarti saat itu sama dengan 37 gram emas. Nah dihitung 41 tahun sampai hari ini, 41 x 12 bulan x 37 x 400 ribu = Rp 7 miliar lebih," jelasnya.

Negara melalui pemerintah, juga harus meminta maaf melalui 10 media massa nasional selama 7 hari berturut-turut atas perlakuan diskriminasi yang dialaminya.

Namun, sayangnya, sejak sidang gugatan pertama 21 November 2011 hingga sidang keempat hari ini, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, baik pemerintah maupun tim kuasa hukumnya tidak pernah menghadiri.

"Ini sidang keempat. Pihak tergugat tidak pernah hadir. Padahal dari awal sudah diagendakan," katanya.

Didampingi YLBHI, LBH Jakarta dan beberapa LSM lain, Nani terus berjuang untuk membersihkan namanya yang selama ini dicap sebagai PKI. (adi)

Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Peran Jenderal Bintang 4 yang Diduga Terlibat Korupsi Timah Rp 271 Triliun

Sekretaris DPP Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus mengatakan, seorang pensiunan Jenderal Bintang 4 diduga terlibat dalam kasus korupsi timah Rp 271 T.

img_title
VIVA.co.id
19 April 2024