Kisah Pelarian Rohingya ke Indonesia

Aksi Solidaritas Untuk Muslim Rohingya
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Tengah malam pada tahun 2009, Ahmad Zakhir dan beberapa pemuda dari desa Buti Dong di wilayah negara Mnyanmar memutuskan pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka mencari rasa aman dan nyaman.

Ini karena pecah perang antar etnis yang terjadi di wilayah Rakhien, Myanmar. Dimana warga yang berasal dari suku Rohingya yang merupakan suku minoritas dan juga beragama Islam yang dikenal sebagai agama minoritas di Myanmar.

Viral di Media Sosial Tawuran Brutal Antar Pelajar, 3 Pelaku Terancam Hukuman Penjara 10 Tahun

Selain itu perlakuan diskriminatif yang diterima para Rohingya dari pemerintah Myanmar dinilai sangat menggangu kehidupan para Rohingya sebagai warga dunia.

Sebelumnya, pada tahun 2008 Rohingya telah berlarian menyebar ke beberapa wilayah di Asia. Pelarian Rohingya ke negara seperti Bangladesh, Srilanka, dan juga Malaysia. Di sana mereka merasakan kebebasan yang sangat terbilang jarang dirasakan mereka di negaranya, Myanmar, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Kebanyakan para Rohingya memilih lari ke Bangladesh. Lantaran Rohingya juga sebenarnya adalah suku asli Bangladesh yang telah lama bermukim dan tumbuh di wilayah Myanmar.

Namun, dengan adanya kebijakan pemerintah Bangladesh untuk tidak menampung pengungsi Rohingya dari Myanmar yang dikatakan menjadi salah satu penyebab padatnya penduduk negara itu. Akhirnya para Rohingya memilih beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia yang diketahui mayoritas penduduknya beragama muslim. Mereka pun banyak melarikan diri ke negara itu.

Sebanyak ratusan orang Roghingya telah menetap dan ditampung di negara Malaysia dengan status pengungsi.

Menurut mereka, selama ini mereka tidak mendapatkan hal hidup yang sewajarnya dirasakan mereka sebagai warga negara. Kurang lebih selama 30 tahun kehidupan para Rohingya dibatasi oleh kebijakan pemerintah Myanmar.

"Kami tidak punya sekolah dan kalau pun bisa itu kami lakukan sembunyi-sembunyi. Dan yang paling mengesalkan adalah kami tidak boleh melanjutkan keperguruan tinggi," kata salah satu pengungsi, Muhammad Noor saat ditermui VIVAnews beberapa waktu lalu di rumah pengungsian di Medan, Indonesia.

"Kami minoritas, tapi sangat jarang salat. Karena di Myanmar dilarang, dan kampung kami juga dijaga oleh polisi dan militer agar kami tidak bisa bepergian keluar desa. Itulah sedikit tekanan yang kami rasakan disana, hingga kami sudah tak tahan lagi," tambah pria yang melarikan diri dari Myanmar pada tahun 2008.

Arungi Lautan Demi Kebebasan


Malam itu, Ahmad Zakir dan kawan-kawannya yang berasal dari desa Buthie Dong, Mnyanmar, memutuskan meninggalkan negara tempatnya dilahirkan. Mereka mencari suaka ke Malaysia dan negara Asia lainnya termasuk Australia yang merupakan negara yang mau menampung pengungsian dari wilayah konflik.

Namun, perjalanan yang harus ditempuh Ahmad cs bukan perjalanan mudah. Dari desanya, pemuda-pemuda itu berjuang melewati hutan lebat dan pegunungan yang membentang hingga mencapai lautan. Para Rohingya meyakini jalan satu-satunya meninggalkan Myanmar melewati jalur laut.

Belasan pemuda itu pun melakukan perjalanan kaki selama 2 hari 2 malam untuk melewati hutan dan pegunungan. Saat di perjalanan, Ahmad dan kawan-kawan juga harus tetap waspada agar tak tertangkap oleh patroli kepolisian Myanmar yang memang sengaja disiapkan untuk mengantisipasi pelarian suku Rohingya. Selain itu, ganasnya alam juga menjadi tantangan bagi mereka.

Sesampainya di tepi pantai, Ahmad Zakir mencoba menghubungi beberapa pemuda di Buthie Dong dan beberapa desa tetangga untuk ikut dalam pelarian ini. Dengan telepon genggam yang mendapatkan sinyal dari negara Bangladesh akhirnya Ahmad bisa berkomunikasi dengan rekan-rekannya.

Di kampung yang dihuni Rohingya memang sangat sulit mendapatkan sinyal telekomunikasi dari Myanmar. Sinyal dari Bangladesh ternyata lebih kuat berpendar di kampung mereka. Ini, menurut mereka, adalah salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan pemerintahnya.

Ahmad membujuk teman-temannya untuk pergi mengarah ke pantai. Dia pun menyarankan untuk berjalan kaki sampai ke tepi pantai dan berusaha untuk menghindari patroli polisi. Sebab jika tertangkap karena ketahuan ingin melarikan diri, polisi Mnyanmar akan memenjarakannya atau memeras dengan meminta uang tebusan agar tidak mendekam di penjara.

Perjalanan yang dilakukan rombongan kedua ini tidak secepat rombongan Ahmad Zakir sebelumnya. Mereka berhasil sampai ke laut setelah 5 hari perjalanan. Hal itu bisa dimaklumi, selain karena kurang penguasaan medan, rombongan kedua banyak terdapat wanita, orangtua, dan anak kecil. Itulah sebabnya perjalanan menjadi lebih lama. Ditambah lagi saat melakukan perjalanan beberapa orang terpaksa harus istirahat karena letih.

Sembari menunggu kedatangan rombongan kedua, Ahmad Zakir dan teman lainnya mencari apa saja yang bisa digunakan untuk meninggalkan Myanmar. Usaha mereka tak sia-sia. Setelah berjalan menyusuri tepi laut, mereka menemukan sebuah kapal motor nelayan penangkap ikan yang memiliki panjang kurang lebih 10 meter dan lebar tak mencapai 2 meter. Kapal ini kosong tanpa pemilik.

"Menunggu yang lain sampai, kami mencari ke sekeliling laut kapal-kapal ikan yang bisa kami tumpangi. Kami berhasil menemukannya, ketika kami cek tidak ada pemiliknya. Mungkin karena ini daerah yang sepi, mungkin pemiliknya tidak terlalu takut meninggalkan kapal ikannya," kata Ahmad.

Setelah rombongan kedua tiba, jumlahnya ternyata di luar prediksi mereka. Seratusan Rohingya berbondong-bondong datang ke tepi pantai. Di saat itulah, Ahmad Zakir dkk memutuskan mengambil kapal ikan itu. Dan tak disangka-sangka, kapal yang tak terlalu besar itu berhasil memuat 129 orang. Itu pun dengan berdesak-desakan agar bisa muat keseluruhan rombongan.

Perjalanan dimulai, mereka menyisir lautan demi kebebasan. Selama dalam perjalanan, Rohingya hidup dengan bekal makanan yang sudah disiapkan lebih dahulu. Dan ketika kehabisan minuman, mereka menampung air hujan untuk memuaskan dahaga. Saat itu juga banyak Rohingya yang menderita sakit akibat kelelahan.

Selama 12 hari berada di tengah laut tanpa arah yang pasti untuk menuju negara tujuannya yaitu Malaysia. Tibalah waktunya Rohingya berhasil menemukan beberapa nelayan, yang artinya lautan itu sudah dekat dengan daratan.

"Kami berjalan tanpa arah dengan bekal makanan seadanya dan minum air hujan di tengah laut. Setelah 12 hari perjalanan kami melihat ada banyak nelayan. Kami pun yakin perairan ini pasti dekat dengan daratan. Kami pun mencoba daratan terdekat untuk mencari tempat aman untuk kami huni," tutur Ahmad.

Belum sampai menepi ke daratan, para Rohingya dikejutkan dengan menculnya sebuah kapan mesin dari kejauhan. Semakin dekat semakin jelas pula terlihat bahwa kapal yang sedang menuju ke arah mereka adalah kapal polisi laut yamg tengah berpatroli.

Setelah patroli itu mendekat, Rohingya merasakan ketakutan yang luar biasa. Sebabnya, kapal tersebut adalah kapal kepolisian laut Thailand. Polisi tersebut pun memeriksa satu persatu para Rohingya termasuk dokumen dan untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa benda-benda dan barang terlarang. Usai memastikan para Rohingya, polisi Thaiand menyarankan mereka untuk meninggalkan wilayah perairan negeri Gajah putih tersebut. Lantaran mereka tidak memiliki dokumen lengkap.

Namun sayang, dikatakan Ahmad, kepolisian Thailand tersebut menyita mesin perahunya dan bahan bakarnya. Kemudian menarik kapal Rohingya untuk keluar dari wilayahnya. Hampir selama 24 jam polisi itu menarik perahu mereka sampai keluar wilayah perairan Thailand.

"Kami tidak memiliki dokumen saat polisi Thailand memeriksa kami, mereka membebaskan kami dan mengantarkan kami keluar dari laut Thailand. Tapi sayangnya, mereka menyita mesin perahu kami dan bahan bakarnya," kisah Ahmad.

Setelah kapal kepolisian Thailand meninggalkan mereka, Ahmad mengaku membuat layar dari terpal yang memang sudah ada sebelumnya di perahu. Begitulah seterusnya, para Rohingya mengaku telah kehilangan semangat karena telah kehilangan mesin perahu yang mengakibatkan perjalanan mereka menjadi lebih lambat. Sedangkan perahu bergerak tak tentu arahnya semau angin mendorong layar mereka.

"Tidak punya mesin, kami mendirikan layar dengan terpal yang ada di kapal. Tapi, perjalanan sudah terasa kurang bersemangat, karena perahu kami bergerak tak tentu arah pasti," kata Ahmad.

Diselamatkan Nelayan Indonesia


Setelah pasrah terbawa hembusan angin selama 3 hari, akhirnya salah satu dari Rohingya berhasil melihat ada sebuah kapal dari kejauhan. Meskipun tak mengetahui secara jelas yang dilihatnya, mereka merasa senang melihatnya. Karena bagi mereka itu sangat berguna untuk meminta bantuan seperti makanan yang sangat dibutuhkan mereka.

Seperti dikisahkan Ahmad, kapal yang mereka lihat mendekati mereka. "Kurang lebih satu jam mereka berhasil mendekati." Ternyata kapal tersebut adalah kapal ikan berbendera Merah Putih, milik nelayan asal Aceh.

Namun, para Rohingya dan para nelayan sama-sama mengalami kesulitan komunikasi. Akhirnya melalui bahasa tubuh dan raut wajah para Rohingya yang terlihat kelelahan, nelayan pun paham bahwa Rohingya membutuhkan pertolongan.

Para nelayan pun mempersilakan sebagian Rohingya pindah ke kapalnya agar lebih merasakan bernafas lega setelah berhari-hari sempit-sempitan di perahu layarnya. Kapal melayan itu pun menarik kapal Rohingya menuju daratan. Dua hari lamanya perjalanan mereka hingga sampai ke daratan yang merupakan kota Banda Aceh.

"Kapal itu menarik kami sampai ke daratan, sampai disana kami mengetahui bahwa kami telah sampai di Kota Banca Aceh Indonesia," kata Ahmad.

"Kami juga baru pertama kali ini mendengar nama negara Indonesia. Maklum kami banyak tidak bersekolah dan tidak banyak bisa melihat televisi dalam 30 tahum terakhir karena memang itu kami dapatkan di sana," tambah Mahmud yang mendampingi Ahmad.

Sesampainya di Aceh, para pengungsi Rohingya langsung bertemu dengan pihak imigrasi Indonesia. Mereka langsung menceritakan alasan meninggalkan tanah airnya. Hal itu rupanya membuat organisasi dunia seperti UHMCR peduli dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengeluaran dokumen izin tinggal mereka di Indonesia. Kemudian disusul oleh IOM yang menyediakan rumah penampungan d Medan, Sumatera utara dan memfasilitasi kebutuhan sehari-hari para Rohingya.

"Ada 3 yang menolong kami, mereka adah Pemerintah Indonesia, UHNCR yang membantu memberikan kami dokumen untuk tinggal di Indonesia dan IOM yang membiayai sehari-hari kami selama tahun ini," beber Ahmad.

Hingga kini, semakin banyak pengungsi Myanmar yang berencana meninggalkan negaranya dan mencari wilayah Indonesia dan Malaysia untuk mencari suaka. Kebanyakan Rohingya tersebar di wilayah Sumatera, di antaranya Aceh, Tanjung Pinang, Sumatera Utara, Jakarta, dan beberapa wilayah kepulauan di Sumatera.

Tak Bisa Bahasa Inggris

Sesampai mereka di empat rumah penampungan di Medan, Sumut. Para Rohingya diberi pendidikan yang dilakukan oleh IOM yang menyediakan guru untuk membina para Rohingya selama di penampungan.

Salah satu guru bahasa Inggris yang dipekerjakan oleh IOM, Lili Tobing, mengaku telah 1,5 tahun memberikan ilmu pendidikan bagi para Rohingya. Mahasiswa S-2 Universitas Negeri Medan itu mengatakan saat pertama kali mengaku kesulitan karena perbedaan bahasa.

Namun seiring berjalanyna waktu, akhirnya mereka mulai beradaptasi dan mulai mengerti dan bisa berbahasa Indonesia. Tak hanya itu, sebagian besar dari mereka yang sama sekali tidak bisa baca tulis kini sudah bisa.

"Pertama kali memang kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Beruntung mereka cepat beradaptasi dengan sekitarnya untuk belajar bahasa Indonesia," tutur Lili.

"Ternyata banyak diantara mereka yang tidak bisa baca tulis, bahkan banyak juga yang tidak kenal huruf," kenang wanita berusia 25 tahun itu.

Setelah menguasai bahasa Indonesia dan lancar membaca dan menulis, Rohingya akhirnya diberikan ilmu tambahan. Yaitu ilmu berbicara bahasa Inggris yang diyakini sangat bermanfaat untuk bekal hidup para Rohingya selanjutnya.

Dikatakan Lili, pihaknya lebih dulu memberikan kamus bahasa Indonesia-Inggris dan Myanmar-Inggris untuk memudahkan metode pengajaran. Pelajaran juga dilakukan dalam 2 tahap. Dimana tahap pertama Rohingya difokuskan untuk menambah perbendaharan kata. Setelah selesai pada tahap itu baru boleh memasuki tahap selanjutnya yaitu berbicara dalam bahasa Inggris.

"Selama ini mereka digenjot menguasai bahasa Inggris. Karena mereka juga sadar membutuhkan ini untuk kedepannya nanti mereka pergi ke negara Austalia (negara ketiga yang rencananya akan menjadi tempat pilihan mereka untuk mencari sua). Disana. Menurut mereka pemerintah Australia mengizinkan beberapa pengungsi dari negara-negara konflik, seperti Afganistan, Irak, Srilanka dan lain-lain banyak pergi kesana," kata wanita asal Siantar, Sumut.

"Beruntung sebagian dari mereka sudah sangat lancar berbicara dalam bahasa Inggris, salah satunya Ahmad yang terkadang membantu saya memberikan pelajaran kepada murid lain yang belum bisa menguasai bahasa Inggris," katanya.

Ilustrasi pengendara sepeda motor

Akibat Rem Mendadak, Pengendara Motor Tabrak Pikap hingga Terjungkal

Baru-baru ini terjadi di media sosial, sebuah video di media sosial memperlihatkan pengendara motor menabrak sebuah mobil pikap hingga terjungkal.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024