5 Tahap Wajib Dilewati Saat Identifikasi Jenazah QZ8501

Suasana aktivitas tim DVI di RS Bhayangkara Surabaya
Sumber :
  • VIVAnews/Mohammad Zumrotul Abidin

VIVAnews - Proses evakuasi jenazah pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, terus dilakukan. Tim Disaster Victim Identification (DVI) yang bertugas di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya terus bekerja keras mengidentifikasi jenazah secara maraton.

Setahun Tragedi AirAsia QZ8501 Diperingati di Surabaya

Untuk bisa secara resmi menyatakan identitas korban sesuai standar DVI yang tersertifikasi Interpol, mereka harus melakukan lima hal. Apa saja lima hal tersebut? Berikut ulasan hasil perbincangan VIVAnews dengan salah satu tim DVI Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi, Putut T Widodo, Minggu 11 Januari 2015.

“Yaitu olah tempat kejadian (TKP), post mortem, antemortem, rekonsiliasi, dan debrifing,” kata pria yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium DNA Pusdokkes Mabes Polri itu.

Airbus Juga Bersalah pada Jatuhnya AirAsia QZ8501

Untuk kasus AirAsia ini, olah tempat kejadian itu dikerjakan oleh Basarnas dalam bentuk pencarian, sampai jenazah diantar ke RS Bhayangkara Surabaya. Setelah jenazah diterima RS Bhayangkara, kemudian masuk fase kedua, yang juga disebut Mortuary Process atau proses autopsi mayat.

“Di dalam dunia identifikasi, kalau belum teridentifikasi itu disebut mayat,” kata Putut.

Terungkap Misteri Jatuhnya AirAsia QZ8501

Di fase kedua ini, semua ilmuwan bekerja, mulai dari ahli gigi, sidik jari, kedokteran forensik, antropologi forensik, ahli properti, dan ahli deoxyribo-nucleic acid (DNA).

“Pekerjaan dari berbagai ahli itu kemudian menghasilkan pink form (formulir merah muda) yang berisi data post mortem,” jelasnya.

Mencocokkan Data

Setelah fase dua terlalui, maka beranjak pada fase ketiga, yakni antemortem. Dalam definisi DVI, antemortem adalah pengumpulan data ciri-ciri orang hilang semasa hidup. Hasil pengumpulan data ini dituangkan ke dalam yellow form (formulir data kuning).

“Data antemortem yang bisa dikumpulkan misalnya ciri khusus tubuh, berat badan, tinggi badan, tato, gigi behel, tindik, bekas operasi, penanaman pen pada tulang, gigi-geligi dan properti. Orang dengan riwayat perokok juga bisa,” kata Putut.

Selanjutnya, fase empat adalah rekonsiliasi, yakni rapat yang berisi membandingkan data antemortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah teridentifikasi. Lalu, bagaimana cara mencocokkan ?

Putut menjelaskan, DVI memiliki dua metode dalam identifikasi. Yang pertama ialah metode primer yang merupakan pencocokan data sidik jari, sidik gigi, dan DNA. Kemudian yang kedua adalah metode sekunder yaitu pencocokan data medis dan properti.

Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka identifikasinya lemah.

“Rumus identifikasi ada dua. Pertama, apabila salah satu data primer cocok. Kedua, minimal dua data skunder cocok. Saat sidang, argumentasi yang diberikan ilmuwan memiliki dasar yakin, tidak yakin, dan kurang yakin. Hasil perdebatan dalam rapat inilah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jelas Putut lebih lanjut.

Tahap kelima yaitu debrifing. Fase terakhir ini adalah rapat evaluasi operasi DVI secara menyeluruh. Ini dilakukan setelah semua operasi selesai dan dianggap tuntas.

“Debrifing diharapkan bisa memunculkan kebijaksanaan baru untuk operasi DVI di kasus atau identifikasi pada korban dalam kecelakaan yang lain,” tutup Putut. (one)

Baca juga:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya