Sepenggal Cerita Pembantaian 40 Ribu Jiwa

Westerling
Sumber :

VIVA.co.id - Biasanya monumen Westerling tampak sepi. Hanya dedaunan diterpa angin yang menjadi teman sesaat melangkahkan kaki menuju monumen di Langgau, Kota Makassar, itu. Tapi, beda pada 11 Desember. Pemandangannya berbeda drastis.

11 Desember diperingati sebagai hari berkabung rakyat Sulawesi Selatan. Peringatan itu ditandakan untuk mengenang kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya akibat teror 123 tentara Belanda pimpinan Kapten KNIL, Raymond Paul Piere Westerling.

Inilah monumen korban 40 ribu jiwa, bukti catatan peradaban sejarah yang menjadi lokasi wisata di Kota Makassar.

Di tempat monumen didirikan, telah terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Westerling. Pembantaian ini terjadi pada 1946-1947. Dalam catatannya, kepala Korp Pasukan Khusus (Korps Speciale Troepen) itu kerap menerapkan metode pembersihan yang cenderung membabi buta.

Dimulai Subuh

Monumen dengan simbol patung tanpa lengan dan tanpa kaki sebelah adalah ungkapan bentuk pembantaian yang tidak terhingga, di mana prosesi pembantaian Westerling dimulai pada subuh hari, 11 Desember 1946, di Desa Batua Makassar.

Sepenggal cerita ini pun berawal dari 3.000 jiwa dikumpulkan di lapangan terbuka dengan 44 orang dianggap teroris, termasuk 9 pemuda yang mencoba melarikan diri. Semua dibantai.

Kekejaman pun berlanjut dengan terjadinya penembakan dan pembakaran di kawasan Tanjung Bunga, berlanjut pembunuhan pada 16 Desember 1946 dengan menewaskan 33 penduduk Sulawesi Selatan yang dianggap menjadi gerilyawan. Semua dibunuh. Dibantai. Pembantaian berlanjut ke Kabupaten Gowa dengan menewaskan 257 orang.

Daeng Nasri (38 tahun), pria kelahiran Makassar yang dipercaya merawat monumen ini, memberikan buku yang berisi kisah perjuangan dan panduan tentang perjalanan hingga monumen ini dibangun.

Di balik kisahnya, aksi Westerling pun berakhir pada 16-17 Februari 1947. Namun, gejolak kembali terjadi di Mandar yang menelan korban 364 jiwa. Belanda baru mengakhiri dan menarik pasukan dari Sulawesi Selatan pada 21 Februari 1947.

Monumen yang letaknya sekitar 4 kilometer sebelah utara pusat kota Makassar itu kini tinggal kenangan. Beberapa sisi sudut bangunan sudah tak terawat lagi.

Indonesia telah merdeka, namun pembantaian tetap membekas dalam nadi rakyat Sulsel. Relief pada dinding-dinding monumen menandai kepedihan rakyat Sulsel. Ada juga patung dengan tinggi sekitar 4 meter yang menggambarkan korban selamat, tetapi kaki buntung dan salah satu lengannya menggunakan penyangga.

Bangunan dengan corak pagar berwarna merah tetap dilestarikan dan menjadi ingatan bagi para sanak keluarga yang ditinggal. (one)

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Baca juga:

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Skesta arwah

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Aneh tapi nyata, namun begitulah faktanya.

img_title
VIVA.co.id
19 Januari 2016