9 Pelanggaran Penangkapan Bambang Widjojanto Versi Ombudsman

penangkapan bambang widjojanto oleh bareskrim
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id - Penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan (KPK) nonaktif, Bambang Widjojanto, oleh penyidik Bareskrim Polri pada 23 Januari 2015 lalu terus mendapat kritik tajam dari kalangan masyarakat. Bambang pun melaporkan perlakuan penyidik Bareskrim Polri ke Ombudsman RI.

Tiga pekan berselang sejak melaporkan kasus itu 28 Januari 2015 lalu, Ombudsman RI akhirnya menyampaikan tindaklanjut dari laporan tersebut, dengan memberikan rekomendasi kepada Kapolri sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Rekomendasi ini diberikan setelah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah dokumen, ketentuan peraturan perundang-undangan, mendengarkan keterangan pelapor, sejumlah saksi termasuk Bareskrim Polri dan dua saksi ahli.

Dari hasil pemeriksaan itu, Ombudsman berpendapat bahwa telah terjadi maladministrasi dalam penangkapan Bambang Widjojanto oleh penyidik Bareskrim Polri. Diantaranya dengan melanggaran peraturan perundang-undangan, pengabaian kewajiban hukum, kelalaian dan  penyimpangan prosedur.

Berikut pelanggaran yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri kepada Bambang Widjojanto:

1. Penyidik Bareskrim Polri tidak melakukan pemanggilan terlebih dahulu sebelum melakukan penangkapan terhadap Pelapor (Bambang Widjojanto).

Menurut Ombudsman, penangkapan merupakan upaya paksa dalam rangka proses penyidikan terhadap seorang tersangka, sehingga penyidik sebelum melakukan penangkapan terlebih dahulu mempertimbangkan untuk memanggil tersangka 2 (dua) kali beturut-turut.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan melindungi hak asasi tersangka. Untuk itu Penyidik Bareskrim Polri sebelum melakukan penangkapan terhadap  Bambang Widjojanto wajib melakukan pemanggilan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

2. Kesalahan penulisan identitas Pelapor di dalam surat penangkapan dan tidak diuraikan  secara rinci ayat yang menunjukan peran dan kualifikasi tersangka sebagai pelaku tindak pidana.

Penyidik Bareskrim Polri dinilai tidak cermat, teliti dan hati-hati dalam menyiapkan administrasi penyidikan yaitu surat perintah penangkapan Nomor SP. Kap/07/I/2015/ Dit Tipideksus tanggal 22 Januari 2015, dimana terdapat kesalahan pada alamat tempat tinggal tersangka.

Dalam surat perintah penangkapan disebutkan beralamat di RT 01 padahal yang sebenarnya beralamat di RT 006 dan kesalahan dalam penyebutan kecamatan yaitu Kecamatan Sukmajaya padahal yang sebenarnya adalah Kecamatan Cilodong.

Selain itu, dalam surat Perintah Penangkapan tidak diuraikan pengenaan ayat secara rinci yang menunjukan peran dan kualifikasi tersangka sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP.

3. Menerbitkan surat perintah penggeledahan rumah tanpa terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin  kepada Ketua Pengadian Negeri setempat.

Dalam melakukan penggeledahan rumah atau tempat, penyidik wajib meminta izin terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri setempat. Pada saat penangkapan dan pemeriksaan badan, penyidik memperlihatkan surat perintah penggeledahan rumah/tempat dan badan.

Namun faktanya Penyidik tidak pernah meminta ijin kepada Ketua Pengadilan Negeri Depok, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) dan (2) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

4. Penyidikan dilakukan tanpa penyelidikan terlebih dahulu.

Dalam proses penanganan perkara tindak pidana dilakukan melalui 2 tahapan yaitu penyelidikan dan penyidikan, terkecuali dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat langsung melakukan penyidikan tanpa penyelidikan terlebih dahulu.

Perkara yang disangkakan kepada Bambang Widjojanto bukan merupakan peristiwa tertangkap tangan sehingga seharusnya penyidik terlebih dahulu melakukan tindakan penyelidikan.

Berdasarkan dokumen yang diperlihatkan dan keterangan penyidik ditemukan fakta bahwa terhadap perkara pelapor tidak dilakukan langkah penyelidikan terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP serta Pasal 4 dan Pasal 15 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

5. Keterlambatan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidik (SPDP) dari penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum.

Pada saat dimulainya penyidikan, penyidik mempunyai kewajiban untuk mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (1) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Untuk perkara ini Surat Perintah Penyidikan diterbitkan pada tanggal 20 Januari 2015, sementara SPDP diterbitkan pada tanggal 22 Januari 2015 dan dikirimkan serta diterima oleh Kejaksaan Agung RI setelah dilakukan penangkapan yaitu tanggal 23 Januari 2015.

6. Penyidik tidak menunjukkan identitas sebagai Anggota Polri pada saat melakukan penangkapan.

Dalam proses penangkapan penyidik wajib memperlihatkan identitas sebagai Petugas Polri, namun penyidik Bareskrim Polri pada saat melakukan penangkapan terhadap pelapor tidak menunjukkan identitas sebagai Anggota Polri melainkan hanya menunjukkan surat perintah penangkapan.

Kewajiban menunjukkan identitas sebagai Anggota Polri sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Pasal 17 ayat (1) Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara RI.

7. Perbedaan perlakuan dalam penanganan perkara (diskriminasi).


Dalam penanganan perkara dengan materi perkara yang disangkakan hampir sama yakni sebanyak 9 perkara sejak tahun 2003 sampai saat ini belum ada penyelesaian oleh Bareskrim Polri, sedangkan perkara Bambang secara cepat ditangani dalam rentang waktu 5 (lima) hari sejak laporan polisi tanggal 19 Januari 2015 sampai pada penangkapan Pelapor pada tanggal 23 Januari 2015.

Demikian pula data laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada Ombudsman mengenai penyelesaian perkara oleh Polri pada semua tingkatan penanganannya masih berlarut-larut (undue delay) tanpa ada kepastian penyelesaian.

Hal ini memperlihatkan terjadinya pembedaan perlakuan (diskriminasi) dalam penanganan perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8. Penyidik tidak memberikan Berita Acara Pemeriksaan pada saat pemeriksaan kedua tanggal 3 Februari 2015.

Penyidik mempunyai kewajiban untuk memberikan turunan berita acara pemeriksaan kepada tersangka atau penasehat hukumnya dalam rangka persiapan pembelaan.

Pada tanggal 3 Februari 2015 pada saat pemeriksan lanjutan pelapor, penyidik tidak memberikan turunan Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, padahal penasehat hukum pelapor sudah mengajukan permintaan kepada penyidik.

9. Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak melampaui kewenangannya sebagai anggota Polri.


Dalam melakukan penangkapan penyidik wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang memuat identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara, tempat tersangka diperiksa dan penyidik yang melakukan penangkapan yang mengacu kepada surat perintah penyidikan.

Pada surat perintah penangkapan pelapor tidak tercantum nama Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak yang pada saat penangkapan statusnya sebagai perwira menengah Lembaga Pendidikan Polri (Pamen Lemdikpol). Oleh karena itu keberadaan Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak dalam melakukan penangkapan tersangka Bambang Widjojanto tidak dapat dibenarkan.

Bahkan terdapat 2 (dua) Anggota Polri berseragam dan membawa senjata laras panjang di lokasi penangkapan, hal itu pun tidak dibenarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri. Ombudsman memberikan rekomendasi kepada Kapolri, dengan memerintahkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri untuk mematuhi aturan perundangan-undangan yang berlaku dan memberikan pembinaan, pelatihan, pengawasan kepada penyidik maupun atasan penyidik.

Ombudsman meminta Kabareskrim melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi di jajaran Bareskrim sehubungan dengan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh Kombes Pol. Daniel Bolly Tifaona selaku Kasubdit VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus beserta penyidik yang menangani perkara Bambang Widjojanto.

Kemudian juga memeriksan dan memberikan sanksi terhadap Kombes Pol. Viktor E Simanjuntak yang ikut serta melakukan penangkapan diluar surat perintah penyidikan dan surat perintah penangkapan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga:

Tak Lagi jadi Pimpinan KPK, Ini Aktivitas Bambang Widjojanto


(ren)

Respons Istana Soal Deponering AS dan BW

Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti.

Dua Mantan Pimpinan KPK Harusnya Sampai Pengadilan

"Karena di situlah ujung keadilan itu didapatkan," ujar kapolri.

img_title
VIVA.co.id
4 Maret 2016