Asal Usul 'Manusia Berekor' dari Kendal

Orang kalang di Kendal Jawa Tengah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Mengenai asal usul Orang Kalang, Kelana, memaparkan cerita seperti legenda Sangkuriang, yakni seorang putri yang mengawini seekor anjing, lantaran termakan sumpahnya sendiri.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Cerita semacam itulah yang memunculkan mitos, Orang Kalang memiliki ekor. Baca dan

Kajian ilmiah mengenai masyarakat Kalang, sudah banyak dilakukan. Namun, hingga kini belum ada yang bisa mengungkapkan asal-usul masyarakat Kalang secara gamblang. Antropolog, atau sejarawan hanya menganalisis data-data yang terbatas.

Dari penelitian sejarahwan, istilah Kalang ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kawedanan Tegalharjo, Kabupaten Magelang, yang berangka tahun 753 Saka, atau 831 Masehi. Diduga, keberadaan mereka telah ada sejak sebelum Jawa memasuki zaman Hindu.

Dalam Die Kalang auf Java (1877), AB Meyer, mengatakan bahwa orang Kalang termasuk golongan suku bangsa berambut keriting dan berkulit hitam. Mereka masih sekeluarga dengan bangsa Negrito dari Filipina, Suku Semang dari Semenanjung Malaya, atau penduduk di Kepulauan Andaman.

Pendapat itu ditentang oleh E Ketjen, Dr H Ten Kate, dan van Rigg. Menurut mereka, Orang Kalang bukan suku bangsa sendiri dan berlainan dengan Suku Jawa. Orang Kalang adalah orang Jawa yang tersisih oleh sistem pegangkastaan pada masa Hindu. Nenek moyang mereka termasuk golongan tak berkasta, atau paria.

Kuburan Orang Kalang di Poncorejo, Gemuh, Kendal.

Kuburan Orang Kalang di Poncorejo, Gemuh, Kendal. (VIVA.co.id/Dody Handoko)

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Soelardjo Pontjosutirto dan kawan-kawan dalam buku Orang-orang Golongan Kalang (1971) lebih lanjut memaparkan analisis E Ketjen. Sebagai kelompok yang tersisih secara sosial, orang-orang Kalang dipaksa tinggal di daerah-daerah pengasingan, seperti pantai yang berpaya-paya, tepi sungai, lereng gunung-gunung yang tinggi, serta tanah-tanah tandus yang belum dibuka. Sebagian hidup mengembara di hutan-hutan. Lingkungan yang keras menempa mereka menjadi pekerja keras.

Pada zaman Majapahit, mereka dimanfaatkan tenaganya untuk proyek-proyek fisik berskala besar, serta menjadi prajurit dalam pasukan tempur.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Sedangkan pada Islam, sistem kasta dengan sendirinya hilang. Kondisi itu berpengaruh terhadap status sosial masyarakat Kalang. Sultan Agung menghimpun mereka dan dikalangi (dibatasi) di dalam suatu lokasi. Konon, dari sinilah istilah Kalang itu muncul.

“Orang-orang Kalang yang terampil dalam pertukangan, dipekerjakan sebagai penebang kayu jati, serta mengolahnya menjadi benda-benda, atau bangunan yang dibutuhkan kerajaan,” ujar Kelana.

Masjid Orang Kalang di Poncorejo, Gemuh, Kendal.

Masjid Orang Kalang di Poncorejo, Gemuh, Kendal. (VIVA.co.id/Dody Handoko)

Sebagai mata pencaharian, mereka mendapat hak memanfaatkan hutan jati di wilayah kekuasaan sultan. Kayunya diolah dan dijual kepada tengkulak di daerah pesisiran. Pada masa Paku Buwana II, jumlah orang Kalang mencapai 6.000 keluarga dan 1.000 cacah.

Ketika wilayah pesisir jatuh ke tangan VOC, orang-orang Kalang juga dimanfaatkan untuk menebang kayu. Surat Jac Couper dari Jepara kepada Hoge Regering pada 4 November 1675, menyebut keberadaan orang-orang Kalang dalam jumlah besar sebagai penebang kayu di hutan jati daerah Rembang dan Pati.

Tahun 1743, jumlah orang Kalang di wilayah kekuasaan VOC mencapai 2.780 keluarga. Mereka tersebar di Surabaya (250 keluarga), Pasuruan (50), Pati (250), Demak (1.000), Pekalongan (800), Tegal (180), dan Kendal (250). Di luar itu, orang-orang Kalang juga bermukim di Cilacap, Adipala, Gombong, Ambal Karanganyar, Petanahan, Solo, Tulungagung, dan Malang. (asp)

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya