Sumber :
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id
- Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (KAHM) menganggap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (PK) menghalangi akses terpidana dan ahli warisnya untuk mendapat keadilan. Mereka menganggap Mahkamah Agung (MA) salah menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang PK lebih dari satu kali.
KAHM hari ini mengajukan judicial review terhadap SEMA yang dianggap memuluskan eksekusi mati yang dilaksanakan pemerintah.
Baca Juga :
PN Sleman Vonis Seumur Hidup atas Tuti Herawati
KAHM hari ini mengajukan judicial review terhadap SEMA yang dianggap memuluskan eksekusi mati yang dilaksanakan pemerintah.
"Jika suatu saat ditemukan bukti baru, terdakwa tidak bisa lagi memperoleh keadilan," kata ketua Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo, di Gedung MA, Jakarta, Jum'at 17 April 2015.
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menilai SEMA itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pengujian pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. MA bahkan dinilai telah menciptakan ketidakpastian hukum karena pada saat bersamaan, KUHAP (Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana) yang telah diubah MK menyatakan jika PK dapat diajukan lebih dari sekali.
Organisasi non pemerintah itu juga menilai SEMA inkonstitusional. Aturan itu dianggap menabrak UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Kita menilai bahwa PK merupakan jalan keluar dari kemungkinan praktik sesat peradilan Indonesia yang sering terjadi," ujar Supriyadi.
![vivamore="
Baca Juga
:"]
Kejagung Sambut Baik Upaya PK Bocah Terpidana Mati
LSM Internasional Dorong RI Hapuskan Hukuman Mati
Uskup Agung Jakarta: Hukuman Mati Harus Dihapuskan
[/vivamore]
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Jika suatu saat ditemukan bukti baru, terdakwa tidak bisa lagi memperoleh keadilan," kata ketua Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo, di Gedung MA, Jakarta, Jum'at 17 April 2015.