Serat Centhini, Penggabungan Hubungan Intim dan Mistik

Ilustrasi pasangan bercinta.
Sumber :
  • iStock
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Ketika sampai di Mataram (Yogyakarta), Cebolang, bersama kawan lelakinya, Nurwitri, menyetubuhi dua perempuan secara bergantian di area pesantren. Subuh tiba, mereka berhenti, lalu mandi untuk menunaikan salat subuh di masjid.
Baca:
Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI


Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia
"Ini menarik. Kalau terjadi di klub seks bebas, itu bukan erotika. Tapi, ini terjadi di pesantren sehingga erotikanya sangat tinggi. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dalam kisah itu," kata Elizabeth D. Inandiak, kontributor sebuah surat kabar Prancis yang menterjemahkan Serat Centhini ke bahasa Prancis, dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).


Tapi, Inandiak mengingatkan bahwa kecabulan dan kekotoran bahasa Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan pesinden. "Pembacaan Serat Centhini sejatinya memang ditembangkan," tandasnya. Dengan demikian, para pembaca tak tenggelam ke lautan kata-kata kotor dan cabul sehingga keindahan erotika Serat Centhini tetap dapat ditangkap.


Kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini tak pelak menjadi milik pasangan Amongraga dan Tembangraras. Amongraga, putra mahkota Sunan Giri, duduk berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam pertama pernikahannya.


Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup jauh. Riuh-rendah tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih terdengar, sedangkan suasana di dalam kamar sangat tenang dan damai.


Amongraga tak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan terus begitu hingga malam keempat puluh. Selama itu, Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada istrinya agar persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati. Sebelum tibanya malam itu, keduanya hanya saling menatap dan berbicara.


Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan mistiknya. "Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah ketelanjangannya," kata Inandiak.


Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang diambil dari mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi.


Sedangkan ajaran asmaragama bersumber dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karena asmaragama, banyak yang menganggap Serat Centhini sebagai kamasutra Jawa. "Memang ada yang menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal. Lebih luas daripada Kamasutra," katanya.


Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama empat puluh malam, pun jua dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam api asmara. Dan mencapai puncaknya pada malam keempatpuluh. Saat itulah, mereka menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah puncak erotika.


Inandiak menyebut itu sebagai paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa Arab). "Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia)," tulis Inandiak. Sesuatu yang menurut Inandiak menjadi padanan kata paling tepat untuk erotika dan tidak ditemukan dalam alam pikiran orang Barat melalui pembacaannya terhadap karya sastra mereka.


"Sepanjang pengetahuan saya, mudah-mudahan saya salah, tak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan seks dan mistik seperti ini," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya