Polda Sulsel: Pemeriksaan Abraham Samad Berlangsung Alot

Ketua KPK nonaktif Abraham Samad
Sumber :
  • VIVA/Hudzaifah Kadir
VIVA.co.id
Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto
- Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) menahan Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, pada Selasa malam, 28 April 2015. Dia ditahan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen kependudukan.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Menurut Direktur Pembinaan Masyarakat Polda Sulsel, Komisaris Besar Polisi Hariadi, Abraham Samad telah menjalani pemeriksaan selama lebih tujuh jam sejak pukul setengah dua siang. Penyidik mencecar Abraham dengan 42 pertanyaan berhubungan dengan kasus yang disangkakan kepadanya.
KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim


“(pemeriksaan) berjalan alot. Tim penyidik melempar 42 pertanyaan,” kata Hariadi dalam perbincangan dengan
tvOne
pada Selasa malam, 28 April 2015.


Hariadi tak merinci jenis-jenis pertanyaan yang diajukan penyidik kepada Abraham. Dia hanya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, penyidik memutuskan menahan Abraham di Rumah Tahanan Polda Sulsel.


Ada dua alasan penahanan Abraham, yakni yakni pertimbangan objektif dan subjektif. Alasan objektif adalah karena Abraham diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 264 Ayat 1 KUHP. Sesuai Pasal 21 KUHP, tersangka diancam lebih lima tahun penjara.


Sedangkan menurut pertimbangan subjektif, ada kekhawatriran tersangka akan melarikan diri atau merusak barang bukti. “Jadi dapat ditahan,” katanya.


Polda Sulselbar menetapkan Samad sebagai tersangka pada Selasa, 17 Februari 2015. Abraham diduga memalsukan dokumen milik seorang wanita bernama Feriyani Lim, 28 tahun.


Dokumen itu berupa Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dan Paspor. Kasus dugaan pemalsuan dokumen yang melibatkan Samad terjadi pada 2007.


Atas perbuatan itu, dia dijerat Pasal 263, 264, 266 KUHP dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah dilakukan perubahan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 dengan ancaman hukumannya maksimal 8 tahun penjara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya