Kisah Yusuf Bertahan Hidup dari Malaysia hingga Indonesia

Mohammad Yunus
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zulkarnaini
VIVA.co.id
Menkumham: Indonesia Kewalahan Hadapi Imigran
- Tidak seperti pengungsi lainnya, pria 35 tahun ini, terlihat lebih rapi dan klimis dibanding ratusan imigran gelap yang terdampar di Aceh. Dengan baju kaos berkerah dan celana kain panjang serta sepatu warna hitamnya, warga Rohingya ini memang berbeda saat di kamp pengungsian di Desa Bayeun, Ranto Selamat Aceh Timur.

Kapal Terbalik, Lima Migran Tenggelam di Yunani

Pria brewokan ini hampir tak punya waktu ngobrol yang tidak penting selama berada di lokasi pengungsian yang menampung 433 warga Myanmar dan Banglades di bekas pabrik kertas di Desa Bayeun itu.
Yunani akan Kirim Kembali Migran ke Turki


Namanya Mohammad Yunus, warga Rohingya yang sudah 4 tahun tinggal di penampungan imigrasi Medan sedang menunggu suaka. Sejak umur 17 tahun dia bersama 15 warga Rohingya lain keluar dari Myanmar menuju Malaysia.


Saat ditemui VIVA.co.id di Desa Bayeun, Senin 25 Mei 2015, Yunus menuturkan, masuk ke Malaysia melalui Thailand, tidak gampang perjuangan Yunus bersama rekan-rekannya mencari perlindungan hidup ke Negeri Jiran itu. Ia berjalan kaki melalui hutan rimba perbatasan Thailand dan Malaysia, tidak ada satu manusia yang ditemui selama dalam perjalanan.


Dia termasuk orang yang paling muda diantara 15 orang lain yang sama-sama ingin meninggalkan Myanmar pada tahun 1994 silam. Kala itu ada seorang warga Rohingya mengajaknya merantau ke Malaysia mencari perlindungan, karena hidup di Myanmar selalu dalam konflik.  Yunus harus meninggalkan kedua orangtuanya di kamp pengungsian di Arkhan.


Usai menamatkan sekolah yang setera dengan SMA, ia menerima ajakan orang itu. “Kami berjalan kaki, selama satu hari satu dalam hutan perbatasan Thailand dan Malaysia. Hanya membawa sedikit makan,” kata Mohammad Yunus.


Perjuangan Yunus dan rekan-rekannya tidak sia-sia, dia berhasil menginjak kaki di Malaysia, setelah meloncat tembok perbatasan Thailand dan Malaysia.


Selama 17 tahun berkerja sebagai buruh bangunan di Malaysia, Yunus tidak lupa mengirimkan hasil keringatnya kepada orangtuanya. Ia hanya setahun saja bekerja untuk orang lain. “Setelah itu jadi kepala tukang, jadi tidak terikat sama orang lain,” ujarnya.


Pria yang masih lajang ini bercita-cita ingin berlabuh dan bekerja ke Australia. Dan, suatu hari seorang agen menjanjikan perkerjaan di Australia. Rayuan agen itu melunakkan hati Yunus untuk mendapat pekerjaan dan hidup yang layak di Australia.


Yunus sudah membayangkan, hidup di Australia akan mengubah nasibnya lebih baik lagi ketimbang di Malaysia. Tak pernah terbayang nasib lebih buruk lagi bakal menimpanya. Kapal yang membawanya ditolak masuk ke Australia oleh otoritas di sana.


Yunus ingat betul peristiwa itu, pada 19 September 2011, ia terdampar di Banten bersama warga Bangladesh. Selama tiga bulan di sana dalam pengawasan imigrasi. “Orang Rohingya hanya 5 orang saja,” ujarnya.


Meski sudah 20 tahun lebih meninggalkan Myanmar, Yunus tidak lupa kepada orangtuanya, Rosyid Ahmad, yang kini masih menempati di kamp pengungsuian di Arkhan, Myanmar.  “Sebulan sekali saya pasti menelepon orangtua saya,” katanya. 


Saat ini Mohammad Yunus tinggal di penampungan imigrasi Medan. Sehari-hari selain berolahraga, dia mengajar bahasa Inggris untuk warga Rohingya yang sedang menunggu suaka di imigrasi Medan.


Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Yunus sudah lancar, sebulan ini dia bekerja untuk UNHCR sebagai penerjemah pengungsi Rohingya yang terdampar di laut Aceh.


Yunus kini sudah mengurungkan niatnya bekerja di Australia. Ia berharap bisa tinggal di Indonesia dan mendapat jodoh di Indonesia. “Saya ingin menikah dengan perempuan Aceh, mencari yang muslimah, tapi belum ketemu,” kata Yunus sambil senyum.


Yunus belum berniat kembali ke negeri asalnya Myanmar. Ia masih menunggu penempatan negara ketiga oleh lembaga khusus penanganan pengungsi (UNHCR).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya