Sumber :
- Antara/ Yudhi Mahatma
VIVA.co.id
- Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai positif putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi yang diajukan Anas Urbaningrum. Majelis kasasi bahkan menambah atau memperberat hukuman untuk Anas, yaitu dari masa hukuman tujuh tahun menjadi 14 tahun, dan hak politiknya dicabut.
Menurut Refly, putusan itu membuktikan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja secara profesional dalam menyusun dakwaan saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Majelis kasasi meyakini bahwa dakwaan KPK kepada Anas benar semua.
"Apa yang didakwakan KPK itu benar semuanya, dan bahkan dalam tingkat kasasi hukumannya diperberat," kata Refly di Jakarta, kemarin.
Baca Juga :
Cek Fakta: Anies Resmi Ditahan KPK
"Peringatan bagi tersangka atau terdakwa korupsi agar jangan terlalu mudah menggunakan upaya-upaya untuk kasasi kalau hukumannya sudah adil, baik itu di tingkat pertama maupun tingkat banding," ujarnya.
Terbukti korupsi
MA menolak kasasi yang diajukan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan, Majelis Kasasi melipatgandakan hukuman pidana terhadap Anas menjadi 14 tahun. MA menyatakan Anas memang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang (money laundering).
Tidak hanya pidana penjara, Majelis Kasasi juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp5 miliar subsidair satu tahun empat bulan terhadap Anas. Anas juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp57 miliar.
Apabila uang pengganti dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, seluruh harta kekayaan Anas akan dilelang dan apabila belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun.
Hak politik dicabut
Majelis juga mengabulkan permohonan Jaksa pada KPK untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Majelis hakim yang memutus kasus kasasi Anas diketahui adalah Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Pada putusannya, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU.
Pada pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana awal dalam TPPU harus dibuktikan terlebih dulu. MA mengacu kepada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dulu.
Majelis Kasasi juga menyatakan pertimbangan Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi terkait hak terdakwa dalam jabatan publik adalah keliru. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menilai jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan itu harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat.
Sebaliknya, MA berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seoraang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali harus dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.
Nikmah Sholikah dan Indra Galih/Jakarta
Halaman Selanjutnya
Terbukti korupsi