Pengurus NU Diprotes soal Metode Pemilihan di Muktamar

Peringatan Harlah NU
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA.co.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) diprotes sebagian besar pimpinan tingkat provinsi se-Indonesia. Mereka menilai, pengurus pusat memutuskan metode baru pemilihan rais am (pemimpin tertinggi NU) yang akan diterapkan dalam Muktamar di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015.

Rais Syuriah NU Lampung, KH Ngaliman, mengklaim, sedikitnya ada 27 pengurus wilayah (setingkat provinsi) yang menolak keputusan menerapkan sistem yang disebut ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat para kiai senior untuk memilih rais am pada Muktamar nanti.

Sistem itu, kata Ngaliman, berarti rais am tak lagi dipilih para peserta Muktamar yang merupakan utusan pengurus daerah se-Indonesia, melainkan ditentukan sejumlah kiai senior atau kiai khos.

Ngaliman dan 26 ketua pengurus wilayah NU se-Indonesia menuntut pengurus besar NU mencabut keputusan yang dibuat dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama pada 14 Juni 2015 itu. Dia beralasan, sistem itu meniadakan peran atau partisipasi pengurus daerah.

Kisah Santri Surabaya Melawan Penjajah lewat Lagu

Lagi pula, dia menambahkan, kebijakan itu diputuskan melalui forum munas yang tak sah dan melanggar peraturan dasar organisasi serta terkesan dipaksakan.

"Kami menolak sistem ahwa di Muktamar NU ke-33 nanti. Apalagi, pada saat munas kami hadir, jelas kami tidak diberi kesempatan. Kalau cara-cara ini diteruskan, kami akan melakukan sesuatu," kata Ngaliman melalui keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id pada Kamis malam, 18 Juni 2015.

Ngaliman bersama Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Sulawesi Tengah, KH Jamaluddin Mariajang, mengaku telah menyampaikan surat resmi penolakan kepada pengurus besar NU.

Surat itu didukung pula para ketua dan rais syuriah pengurus wilayah NU se-Indonesia, yakni Bali, NTB, NTT, Sulteng, Sultra, Sultra, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Untuk kawasan Indonesia bagian barat, Aceh, Sumut, Sumbar, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, Lampung, Banten, Kalbar, Kalteng,  Kaltim, dan Kaltara.

Jamaluddin Mariajang menilai, pengurus besar NU telah melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi NU. Sebab, ada upaya memprovokasi dan memaksakan sistem ahwa sebagai sistem pemilihan rais am dalam muktamar nanti.

”Ini sudah melanggar organisasi dan melecehkan AD/ART. Sebab, sampai saat ini kami masih memakai AD/ART hasil muktamar yang lalu. Munas tidak bisa menggantikan muktamar,” katanya.

Disepakati para kiai

Secara terpisah, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (organisasi sayap pemuda NU), Nusron Wahid, mengatakan siap mengamankan atau mengawal keputusan munas yang menyepakati mekanisme ahwa.

Menurut Nusron, yang juga kepala BNP2TKI, metode itu sudah diputuskan dalam munas, forum tertinggi setelah muktamar. Forum itu dihadiri 27 dari 34 pengurus wilayah NU se-Indonesia. Ditambah para pimpinan pengurus besar NU.

"Karena itu, tidak ada alasan bagi siapa pun yang mengatasnamakan NU untuk menolaknya. Kalau ada yang tidak setuju, kenapa tidak hadir dan berargumentasi di depan para kiai, di depan para syuriah yang lain, terutama di depan para kiai sepuh (senior),” kata Nusron dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id.

Nusron mengaku bersikap keras seperti itu, karena keputusan itu telah disepakati para kiai. Maka, semua wajib mendengar dan menaati.

NU: Kemiskinan Mendekatkan pada Organisasi seperti Gafatar

"Dalam AD/ART memang diputuskan bahwa pemilihan rais am itu dengan musyawarah mufakat dan atau pemilihan. Kalau kiai-kiai sudah memutuskan untuk jalan mufakat melalui mekanisme ahwa, ya, harus kami amankan," ujarnya.

Polemik

Muktamar ke-33 NU digelar di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Belakangan muncul polemik tentang metode pemilihan rais am. Sebagian kalangan menginginkan rais am ditentukan melalui metode ahwa.

Sebagian yang lain menghendaki metode pemilihan atau pemungutan suara oleh seluruh peserta muktamar yang merupakan utusan pengurus NU di daerah-daerah.

Kalangan yang mendukung metode ahwa berargumentasi bahwa rais am adalah posisi paling tinggi dan menentukan arah kebijakan NU. Posisi itu pun membawahi ketua umum sebagai eksekutif dalam struktur organisasi NU.

Ben Anderson Dinilai Bisa Membaca Indonesia dari Dalam

Maka, rais am harus ditentukan oleh para kiai senior atau kiai khos yang dianggap memiliki kapasitas keilmuan mendalam.

Kalangan pendukung pemilihan langsung berpendapat bahwa rais am memerlukan legitimasi yang kokoh. Maka, dia harus didukung dan dipilih langsung oleh para pimpinan daerah NU dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia.

Metode ahwa pun dinilai tak sesuai dengan napas atau semangat NU. Lagi pula, sejak NU didirikan pada 1926, rais am selalu dipilih secara langsung oleh para peserta muktamar. Metode ahwa dipakai hanya sekali dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Itu pun karena dalam kondisi sangat genting di bawah tekanan rezim penguasa Orde Baru.

Kala itu, ada situasi kondisi darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara kubu Cipete dan kubu Situbondo. Lalu, muncul inisiatif dari KH Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai senior yang menentukan rais am dan ketua umum Tanfidziyah, yaitu KH Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

NU: Potensi Konflik Tanjungbalai Sudah Lama, Telat Dicegah

NU: Potensi Konflik Tanjungbalai Sudah Lama, Telat Dicegah

Kerusuhan itu sebagai akibat akumulasi kekecewaan.

img_title
VIVA.co.id
1 Agustus 2016