NU Mengubah Tradisi Pemilihan Rais Am

Peringatan Harlah NU
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA.co.id
Pameran Mobil Terbesar Asia Tenggara GIIAS 2016 Resmi Dibuka
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) akan mengubah metode pemilihan rais am (pemimpin tertinggi). Posisi rais am yang sejak dahulu ditentukan lewat pemungutan suara atau voting para pengurus daerah se-Indonesia, kini akan diubah melalui metode yang disebut ahlul halli wal aqdi atau musyawarah mufakat para kiai senior.

Wapres Kalla Resmikan Pembukaan GIIAS 2016

Pengurus Besar NU akan menerapkan metode ahlul halli wal aqdi itu dalam Muktamar di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Sebelumnya akan dipilih atau ditentukan sembilan kiai senior atau kiai khos yang akan duduk dalam majelis ahlul halli wal aqdi.
Wapres: Elektrifikasi RI Terendah di ASEAN


Ketua Pengurus Besar NU, M. Imam Aziz, menjelaskan bahwa perubahan metode itu dilatarbelakangi pertimbangan ingin lebih menghargai kiai atau ulama. Metode voting atau pemungutan suara dianggap memosisikan kiai serupa kandidat kepala daerah atau politikus.


"Menempatkan ulama pada tempatnya. Jadi jangan menempatkan ulama seperti kandidat parpol," kata Imam Aziz kepada wartawan seusai menghadap Wakil Presiden Jusuf Kalla, di kantor Wapres, Jakarta, Senin, 22 Juni 2015.


Imam mengklaim keputusan mengubah metode itu ditetapkan secara bulat, tidak ada yang memprotes atau menolak. "Eggak ada yang protes, mulus, karena tujuannya baik. Menempatkan ulama pada tempatnya," katanya.


Pemimpin tertinggi


Rais am adalah pemimpin tertinggi dalam struktur organisasi NU. Dia membawahi ketua umum sebagai tanfidziyah atau eksekutif dan menentukan arah kebijakan NU.


Belakangan muncul polemik tentang metode pemilihan rais am. Sebagian kalangan menginginkan rais am ditentukan melalui metode ahlul halli wal aqdi. Sebagian yang lain menghendaki metode pemilihan atau pemungutan suara oleh seluruh peserta Muktamar yang merupakan utusan pengurus NU di daerah-daerah.


Kalangan yang mendukung metode ahlul halli wal aqdi berargumentasi bahwa rais aam adalah posisi paling tinggi dan menentukan arah kebijakan NU. Posisi itu pun membawahi ketua umum sebagai eksekutif dalam struktur organisasi NU. Maka rais am harus ditentukan oleh para kiai senior atau kiai khos yang dianggap memiliki kapasitas keilmuan mendalam.


Kalangan pendukung pemilihan langsung berpendapat bahwa rais am memerlukan legitimasi yang kokoh. Maka dia harus didukung dan dipilih langsung oleh para pimpinan daerah NU dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi se-Indonesia.


Metode ahlul halli wal aqdi pun dinilai tak sesuai dengan napas atau semangat NU. Lagi pula, sejak NU didirikan pada 1926, rais aam selalu dipilih secara langsung oleh para peserta Muktamar. Metode ahlul halli wal aqdi dipakai hanya sekali dalam Muktamar di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Itu pun karena dalam kondisi sangat genting di bawah tekanan rezim penguasa Orde Baru.


Kala itu, ada situasi kondisi darurat berupa keterpecahan dua kubu NU antara kubu Cipete dan kubu Situbondo. Lalu, muncul inisiatif dari KH Asad Syamsul Arifin yang mengajukan enam nama kiai senior yang menentukan rais am dan ketua umum Tanfidziyah, yaitu KH Ahmad Sidiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya