Kontras: Kasus Tolikara 'Tamparan' Bagi Kepala BIN

Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA.co.id
Kepala BIN: Pembakaran Vihara di Tanjungbalai Aksi Spontan
- Koordinator Kontras, Haris Azhar, menilai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso, termakan omongannya sendiri. Sebab, ungkap Haris, Sutiyoso sempat memaparkan enam ancaman yang patut diwaspadai intelijen, salah satunya ancaman di bidang sosial dan budaya.

Hendropriyono Minta Bukti Percakapan Haris dengan Freddy

Menurut mantan orang nomor 1 di DKI tersebut, saat menjalani uji kelayakan menjadi Kepala BIN di DPR beberapa waktu lalu, sentimen Sara (suku, agama, dan ras) masih menjadi ancaman di berbagai daerah di Indonesia. Sentimen ini pun dapat menyulut kerusuhan dan keresahan sosial di sejumlah daerah di Indonesia.
Tambah Kewenangan BIN, DPR Tunggu Usulan Pemerintah


"Sutiyoso kemakan sama omongannya. Ngomong bahwa Sara bisa digunakan sebagai isu kekerasan, tetapi dia sendiri tidak bisa mencegah. Ini dari sisi intelijen menjadi sebuah tamparan untuk Sutiyoso," kata Haris saat dihubungi
VIVA.co.id
, Senin 20 Juli 2015.


Haris menerangkan bahwa saat ini kurang lebih ada 60 anggota BIN berada di setiap daerah atau propinsi.  Bahkan selama ini Wamena sendiri merupakan daerah yang sering menjadi perhatian. Tetapi kenapa kasus di Tolikara bisa sampai terjadi, tanya Haris.


"Capek kalau hal seperti ini terjadi terus. Ini akibat negara tidak pernah menyelesaikan persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) secara baik. Akhirnya kita tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sebelumnya," tutur Haris.


Menurut dia, selama ini negara juga selalu mempratekkan penyelesaian-penyelesaian masalah di bawah meja, artinya yang paling penting kejadian itu tidak terjadi lagi. Akan tetapi hak-hak korban tidak pernah dikembalikan atau diberikan. Sama halnya dengan penegakan hukumnya, hanya kelompok-kelompok tertentu saja yang dihukum.


"Udahlah yang penting tidak berantem lagi, begitu penyelesaiannya. Selama ini juga daerah konflik itu menjadi bancaan, cari duit, politik, mobilisasi pasukan. Jadi di negeri ini banyak yang mengambil keuntungan dari konflik," lanjutnya.


Kata Haris, selama ini konflik yang ada tidak diselesaikan tetapi justru diambil keuntungannya. Konflik tidak dijadikan pembelajaran, agar menjadi trauma bersama dan hal itu problem di negara ini.


"Orang mengambil keuntungan dari konflik, ada yang berkoar dari Jakarta yang berkoar-koar mengirim pasukan dan lainnya. Mereka tidak berpikir penderitaan masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut, seperti di Poso, Sampit dan daerah lainnya," ujarnya.


Haris juga menambahkan, kerusuhan tersebut terjadi karena selama ini peran dari BIN dan Kepolisian cenderung tidak memiliki efek atau implikasi nyata untuk bisa menyelesaikan masalah atau konflik yang ada, seperti kasus terbaru di Tolikara Papua itu.


"Ini akibat negara tidak pernah hadir dalam masalah-masalah seperti ini. Mereka BIN dan Kepolisian seperti hanya pelengkap sebuah negara saja, karena tidak ada impikasinya yang nyata untuk masyarakat dalam situasi seperti ini," tutur Haris. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya