Kisah Bung Tomo, Pejuang Kemerdekaan yang Ditahan Orde Baru

Makam Bung Tomo.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

VIVA.co.id - Soetomo atau Bung Tomo lahir di Surabaya pada tahun 1920. Namanya terkenal ketika terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Makamnya terletak di Tempat Permakaman Umum Ngagel, Surabaya.

Makam Bung Tomo terletak di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau. Suasana makam Bung Tomo siang itu cukup ramai.

Beberapa orang duduk-duduk di depan makam. Sedang di dalam makam, beberapa perempuan tiduran di nisan dan lantai makam yang teduh. Ketika melihat ada yang datang, mereka buru-buru bangun.

Bung Tomo adalah seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa surat kabar dan majalah, di antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Kepiawaiannya menulis sebagai wartawan, ia tunjukkan pula ketika menulis surat cinta pada calon istrinya. Kisah itu tertuang di buku "Bung Tomo, Suamiku" yang ditulis oleh istrinya Sulistina Soetomo.

Diceritakan, Bung Tomo menemukan calon istrinya, Sulistina, Jeng Lies. Mereka sama-sama berjuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Bung Tomo menuliskan di suratnya.

"Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu." 

Bung Tomo melanjutkan. "Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku."

Saat itu, ia  menjabat sebagai pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang akhirnya dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. BPRI bertugas mendidik, melatih, dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah Tanah Air.

Bung Tomo juga aktif berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk mengobarkan semangat perjuangan yang selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia.

Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.

Ia juga pernah bekerja sebagai polisi di kota Praja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor untuk perusahaan mesin jahit "Singer".

Pada usia 12 tahun, Sutomo meninggalkan pendidikannya di MULO karena ia harus melakukan berbagai pekerjaan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Kemudian, ia menyelesaikan pendidikan HBS melalui korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17 tahun, ia berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat "Pandu Garuda".

Bulan Oktober dan November 1945, ia membangkitkan semangat rakyat pada saat Surabaya diserang oleh tentara Sekutu yang dipimpin oleh Inggris, dikenal dengan pertempuran 10 November 1945 dan dikenang sebagai hari Pahlawan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/ Veteran sekaligus Menteri Sosial ad interim pada tahun 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun, pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan rezim Orde Baru. Ia berbicara keras terhadap program-program Presiden Soeharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh penguasa selama setahun karena kritik-kritiknya yang keras.

Akibat gesekan dengan penguasa Orde Baru, Bung Tomo terlambat mendapat gelar pahlawan. Atas desakan dari beberapa kalangan, akhirnya pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh, pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.

Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Tanah Air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Skesta arwah

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Aneh tapi nyata, namun begitulah faktanya.

img_title
VIVA.co.id
19 Januari 2016