Kisah Cinta 'Terlarang' Bung Tomo dan Perawat Cantik Belanda

Bung Tomo
Sumber :

VIVA.co.id - Di jantung Kota Surabaya, Jawa Timur terdapat sebuah makam yang terletak di daerah Bubutan atau di dekat gedung GNI.

Di depan makam itu  berdiri sebuah patung tokoh Pergerakan Nasional Indonesia. Tokoh tersebut tak lain Dr Soetomo. Ia adalah seorang pejuang sekaligus salah satu pendiri Organisasi Budi Utomo.
 
Bung Tomo dilahirkan di Nganjuk Minggu 30 Juli 1888. Ia adalah putra pertama dari seorang guru bernama R. Soewail. Pada awalnya ayahnya merupakan seorang guru yang bertugas di wilayah Jombang dan akhirnya dipindah tugaskan ke pamong praja.
 
Nama  Soetomo diberikan sebagai ganti dari Soebroto. Pergantian nama dari Soebroto menjadi Soetomo ini, dilakukan ketika ia akan masuk sekolah Belanda (Koropose Lagere School) di daerah Bangil.
 
Nama Soebroto dianggap berasal dari keluarga yang tidak terpandang. Apabila berasal dari keluarga tidak terpandang tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam sekolah tersebut.
 
Dalam buku berjudul  Dr Soetomo karya Sutrisno Kutojo dan Drs. Mardanas Safwan diceritakan, setelah lulus dari sekolah Belanda (Koropose Lagere School) di daerah Bangil ia lantas melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Pendidikan yang dipilihnya adalah sekolah calon dokter yang bernama Stovia pendidikannya di Stovia ini berlangsung hingga tahun 1911.
 
Berbekal ilmu kedokteran di Stovia yang dimilikinya sejak lulus 1911 dr Soetomo memulai pengabdiannya kepada masyarakat di Semarang, Tuban hingga Lubuk Pakam, Sumatera Timur.

Selanjutnya... Cinta berlabuh di rumah sakit...


Cinta berlabuh di rumah sakit

The Reasons Why Elon Musk Postpones India Visit

Tahun 1917 ia diperbantukan di sebuah rumah sakit di Blora. Di rumah sakit itu, ia bertemu dengan Everdina Broering, perawat Belanda yang mengisi kekosongan tenaga perawat di sana.

Everdina Broering, wanita bertubuh kurus itu wajahnya pucat. Namun garis kecantikannya tegas. Ketika bertegur sapa, tutur katanya lembut, pertemuan pertama itu meninggalkan kesan mendalam di batin dokter muda Soetomo.

Belakangan Soetomo tahu kalau Everdina baru berkabung ditinggal meninggal suaminya. Untuk melupakan kesedihannya, ia memenuhi undangan kakak perempuannya, dan diperbantukan sebagai perawat di Rumah Sakit Blora.

Everdina terlihat murung dan termenung, semakin sedih wajah Everdina terbayang, semakin besar keinginan dr Soetomo menghapus  kepedihan itu. Mereka pun berteman, lalu berubah ke jalinan hubungan  lebih mendalam. Kesendirian mereka melahirkan benih asmara yang kemudian tumbuh subur.

Dr Soetomo dan Everdina sepakat menikah, tetapi keputusan ini mengundang pertentangan dari teman satu pergerakan dengan Soetomo maupun keluarga Everdina.  Terdengar komentar miring, misalnya sebagai pemimpin Indonesia, dr Soetomo tak sepatutnya beristrikan wanita Belanda.

Muncul anggapan Soetomo bisa mengingkari cita-citanya untuk memerdekakan Indonesia dari Belanda. Namun demikian semakin banyak penentangan, cinta mereka makin kuat dan tetap menikah.

Prestasi dr Seotomo selama mengabdi sebagai dokter mendorong pemerintah Hindia Belanda memberinya beasiswa mendalami Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Belanda pada tahun 1919. Kesempatan baik ini digunakannya untuk menjalin hubungan baik dengan keluarga istrinya.

Selanjutnya... Hidup bersama hingga maut menjemput...




Hidup bersama hingga maut menjemput

Mereka tinggal di Amsterdam empat tahun. Meski dengan uang pas–pasan sebagai pelajar asing, Everdina kembali menunjukkan kualitasnya sebagai istri. Ia tidak pernah mengeluh meski setiap akhir minggu menjamu makan banyak  pemuda dan mahasiswa Indonesia di rumah mereka yang kecil.

Dr Soetomo memberi wejangan dan diskusi tentang nasionalisme Indonesia. Everdina memasak nasi goreng yang sangat disukai mahasiswa sebagai obat rindu akan Indonesia. Di Amsterdam kehidupan perkawinan mereka dipenuhi rasa saling menghargai satu sama lain.

Empat tahun dr Soetomo merampungkan pendidikannya dan kembali ke tanah air. Sampai di tanah air, dr Soetomo diangkat menjadi dosen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Nias Surabaya, lalu memimpin berbagai perkumpulan di masyarakat hingga akhirnya membentuk Parindra (Partai Indonesia Raya).

Dengan segudang kegiatan, tanggung jawab istrinya juga semakin bertambah banyak dan berat. Namun Everdina menjalaninya tanpa keluhan, dr Soetomo sering terharu melihat pengorbanan sang istri.

Cuaca Surabaya yang panas dan lembab ternyata mempengaruhi kondisi Everdina yang kelewat keras bekerja di garis belakang. Di balik ketegarannya dan semangat yang luar biasa, tubuhnya makin rapuh.

Atas anjuran sejawat dokter, dr Soetomo mengajak istrinya tinggal di daerah berhawa sejuk di Celaket, Malang, di lereng Gunung Penanggungan. Sebuah keputusan yang sulit, karena mereka terpaksa harus berpisah sementara waktu, dua minggu sekali Soetomo baru mengunjungi sang istri.

Di tengah perjuangannya melawan penyakit yang mendera tubuhnya, Everdina tetap berhati mulia. Ia terus membantu penduduk dengan memberi obat-obatan, merawat luka dan memberi bantuan uang.

Hingga takdir berkata lain, kondisi Everdina semakin lemah, hingga akhirnya menyerah, sang istri meninggal dengan tenang dipangkuan dr Soetomo pada 17 Pebruari 1934.

Timnas Korea Selatan U-23

Fakta Mengerikan Korea Selatan U-23 Jelang Lawan Timnas Indonesia U-23

Korea Selatan U-23 akan menjadi lawan Timnas Indonesia U-23 di babak perempat final Piala Asia U-23 2024. Pertandingan berlangsung di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha,

img_title
VIVA.co.id
24 April 2024