Warsi: Pemerintah Lamban, Kebakaran Lahan di Jambi Meluas

Kebakaran hutan di Riau
Sumber :
  • VIVA/Ali Azumar

VIVA.co.id - Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Jambi terutama di kawasan gambut semakin meluas.

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

Berdasarkan pantauan Citra Satelit TM 8 tertanggal 5 September 2015 dan analisis yang dilakukan Divisi Geographic Information System (GIS) Komunitas Konservasi Indonesia Warsi terpantau sudah hampir 33.745 hektare kawasan gambut yang terbakar di dua Kabupaten yaitu Tanjung Jabung Timur dan Muara Jambi.

Kebakaran terjadi di kawasan hutan tanaman industri seluas 3.089 ha, meliputi lahan PT Wira Karya Sakti dan Diera Hutani Lestari. Kebakaran juga terjadi HPH seluas 5.790 ha, yaitu PT Pesona Belantara Persada dan PT Putra Duta Indah Wood.

Selanjutnya, kebakaran di kawasan perkebunan sawit seluas 5.891 ha, meliputi kawasan konsesi milik PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi, PT Kaswari Unggul, PT Citra Indo Niaga, PT Ricky Kurniawan Kertapers, PT Bara Eka Prima, PT Era Sakti Wiraforestama, PT Bumi Andalas, PT Bina Makmur Bestari dan PT Puri Hijau Lestari.

Selanjutnya, kebakaran gambut juga terjadi di Hutan Lindung Gambut seluas 6.196 ha, Areal Penggunaan Lain (APL) 4.734 ha, Tahura Tanjung 1.317 ha, Taman Nasional Berbak 4.803 ha, serta kawasan hutan produksi seluas 1.924 ha.

Dua pekan sebelumnya, pantauan Citra Satelit tertanggal 20 Agustus 2015, gambut yang terbakar baru 9.149 ha di dua kabupaten tersebut.

Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau

"Peningkatan luas gambut yang terbakar ini mengindikasikan bahwa pemerintah terlalu lamban untuk menetapkan status siaga darurat, sehingga masing-masing daerah melakukan pemadaman secara swadaya, dengan kemampuan anggaran yang rendah," ujar Rudi Syaf, Manajer Komunikasi Warsi, Senin 7 September 2015

Kondisi ini menjadikan upaya pemadaman menjadi sangat sulit, sehingga kawasan yang terbakar semakin luas.

Rudi menyebutkan, kebakaran lahan gambut telah menimbulkan kerugian Rp2,6 triliun. Kerugian yang timbul dihitung dari pencemaran udara, kerugian ekologi, kerugian ekonomi, kerusakan tidak ternilai, dan biaya pemulihan kondisi lingkungan.

Menurut dia, seharusnya pemerintah lebih cepat tanggap dan segera menaikkan status menjadi bencana nasional, sehingga penanganan kebakaran dengan lebih baik dengan bantuan pemerintah pusat.

Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat

Ketika kebakaran masif di lahan gambut, upaya yang efektif adalah hujan buatan dan bom air. Upaya ini hanya bisa dilakukan jika dikoordinasikan oleh pemerintah pusat, karena pusat yang memiliki anggaran.

"Kenyataan keadaan darurat baru dilakukan beberapa hari lalu, ketika upaya modifikasi cuaca dengan hujan buatan tidak bisa dilakukan karena ketidaktersediaan awan potensial," kata Rudi.

"Sedangkan dengan upaya bom air tidak bisa dilakukan, karena armada yang disediakan tidak bisa terbang akibat kabut yang sudah terlalu pekat. Jadi, upaya-upaya pemadaman yang dilakukan menjadi sangat terlambat," kata Rudi.

Idealnya, ketika sudah ada informasi dari BMKG bahwa musim kemarau akan panjang dengan fenomena El Nino, maka gambut yang sudah dikelola dengan cara kanal-kanal sudah bisa dipastikan menjadi kering, sehingga akan sangat mudah terbakar.

"Idealnya pertengahan Agustus sudah ditetapkan keadaan darurat dan siaga kebakaran. Dan langsung dilakukan upaya modifikasi cuaca dan bom air di lahan gambut yang baru mulai terbakar," kata Rudi.

Untuk itu, menurut Rudi, ketanggapan dan kepekaan pemerintah terhadap kebakaran hutan dan lahan lebih ditingkatkan. Selain itu, pemerintah harus meninjau ulang tata kelola gambut yang sudah berlangsung selama ini, kawasan gambut yang dibebani hak kelola, wajib untuk membuat kanal bloking.

"Kalau tidak juga ada kanal bloking dan sudah berulang kali terbakar menjadi sangat layak perusahaan tersebut untuk direkomendasikan pencabutan izin," katanya.

Sementara itu, Rudi menegaskan, penerapan hukuman untuk pelaku pembakaran hutan dan lahan juga harus dilakukan dengan maksimal sehingga memberi efek jera.

"Sebagaimana diatur UU 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 10 tahun penjara dan denda minimal Rp3 miliar, maksimal Rp10 miliar," ujar Rudi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya