Kisah Pilu Bung Hatta dan Sepatu Impiannya

Bung Hatta
Sumber :
VIVA.co.id
Bung Hatta Pernah Dikencingi Guntur Sukarnoputra
- Bung Hatta, adalah salah seorang tokoh yang memiliki andil penting dalam memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Analisis Metabolisme Tubuh dan Kebutuhan Nutrisi Lewat Tes DNA

Pria berwajah teduh itu, adalah sosok yang hidup dalam kesederhanaan, jujur, teguh memegang prinsip dan selalu menepati janji .
Elite Gerindra Sebut Polri Sudah "On the Track" Tangani Kasus Firli Bahuri


Salah satu contohnya, saat Bung Hatta berjanji tidak akan kawin sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta menepati janjinya itu, ia baru menikah setelah tiga bulan teks proklamasi kemerdekaan dibacakan.

Bung Hatta menikah pada usia 43 tahun, tepatnya pada 18 November 1945. Mas kawin yang diberikan Bung Hatta pada Ibu Rahmi hanya sebuah buku berjudul 'Alam Pikiran Yunani' , karangan ia sendiri sewaktu ditahan Belanda di Banda Neira tahun 1930-an.

Sikap yang dikagumi banyak orang adalah sangat sederhana, jujur, santun, dan hemat. Dalam buku otobiografi berjudul
'Muhammad Hatta , Untuk Negeriku'
diceritakan kisah-kisah mengharukan kehidupan Bung Hatta.


Dalam buku itu, termuat sebuah kisah tentang impian Bung Hatta yang tak pernah bisa diwujudkannya hingga akhir hayatnya.


Impian Bung Hatta tidaklah impian yang muluk-muluk, impian itu, terkuak setelah ditemukan sebuah guntingan secarik kertas berisi gambar potongan sepatu merek Bally dalam buku hariannya oleh puteri beliau, setelah Bung Hatta wafat.


Semasa hidupnya, Bung Hatta ternyata sangat ingin memiliki sepatu merek Bally yang masa itu sangat terkenal.


Tetapi, karena tidak mampu membeli sepatu itu, ia menggunting potongan iklan sepatu Bally itu dan menyimpannya di buku hariannya.


Selanjutnya... Uang tabungan tak pernah cukup...



Uang tabungan tak pernah cukup


Semasa hidupnya, Bung Hatta bukan tidak pernah berusaha untuk dapat mewujudkan mimpinya memakai Sepatu Bally. Hal itu dibuktikan dengan upaya Bung Hatta menabung setiap sen uang yang didapatkannya dari bekerja.


Sayangnya, uang yang ditabung Bung Hatta tidak pernah cukup untuk membeli sepatu yang diinginkan. Ia lebih mementingkan uang itu, bagi kebutuhan rumah tangga dan membantu kerabat dan saudara yang lebih membutuhkan bantuan dari hanya sekedar memenuhi keinginan pribadi, begitulah prinsip hidup Bung Hatta.


Jika Bung Hatta tak peduli dengan nasib kerabat dan saudaranya, mungkin ia sudah bisa membeli Sepatu Bally.


Sebenarnya, Bung Hatta tidak perlu bersusah payah menabung untuk dapat membeli Sepatu Bally. Sebab, saat itu, ia memiliki kekuasaan dan relasi orang-orang hebat. Bahkan, saat itu Bung Hatta tak hanya menjadi orang penting di Indonesia, tetapi juga di dunia.


Namun, Bung Hatta merasa malu dan tidak pantas untuk menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Biarkanlah hidup dengan kekurangan dan sederhana dari pada menghinakan diri seperti memanfaatkan kekuasaaan  dan pengaruh untuk kepentingan pribadi.


Selanjutnya... Hidup dalam ketiadaan..



Hidup dalam ketiadaan


Sekitar tahun 1950, saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden R.I, Bung Hatta pernah ditanya sang istri, Rahmi Hatta mengenai kebijakan pemotongan mata uang ORI (Oeang Republik Indonesia) dari Rp100,- menjadi Rp1,-


Hal itu ditanyakan Rahmi, karena dengan kebijakan itu, dia tidak bisa membeli mesin jahit yang sudah lama dididamkan. Dia telah menabung sekian lama untuk mewujudkan mimpinya itu.


Bung Hatta sebagai seorang suami tentu mengerti perasaan istrinya dan berkata. "Sunggguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi ya," kata Bung Hatta menjawab.


Pada tahun 1956, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden R.I, karena ia mulai tidak sepaham dangan pemikiran dan idelogi Soekarno. Setelah pensiun, keuangan Bung Hatta menjadi sangat sulit, karena uang pensiunnya sangat kecil.


Pernah putri Bung Hatta menyarankan, agar menyediakan bokor sebagai tempat menaruh uang bagi tamu yang datang berkunjung ke rumah. Bung Hatta tidak setuju dan marah dengan usul putrinya itu.


Ia juga pernah mengembalikan kelebihan uang pengobatan ke negara. Untuk mengatasi keuangannya pada saat sulit, ia lebih suka mengirimkan tulisan ke penerbit.


Walaupun terkadang tidak sepaham dan tidak sejalan dengan pemikiran Bung Karno. Tetapi, Bung hatta tetap menjalin persahabatan yang harmonis. Pada saat kejatuhan Bung Karno, saat tidak ada satu pun kalangan pejabat negara yang melihat Bung Karno terbaring sakit, Bung Hatta datang dan menghibur Bung Karno.


Bung Hatta menutup mata di usia 77 tahun, tepatnya pada tanggal 14 Maret 1980 di Jakarta. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya