Empat Kejanggalan Perkara BW Versi Tim Kuasa Hukum

Nursyahbani Tim Kuasa Hukum Bambang Widjadjanto
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Tim kuasa hukum Wakil Ketua KPK nonaktif, Bambang Widjojanto, mengumumkan empat temuan kejanggalan dalam kelanjutan penanganan perkara kliennya.
Politikus Budi Supriyanto Didakwa Disuap Ratusan Ribu Dolar

Kejanggalan-kejanggalan itu semakin meyakinkan bahwa kasus Widjojanto sesungguhnya bermotif kriminalisasi untuk menjerat para pegiat antikorupsi.
'Bos Podomoro Beri Sanusi Uang Rp2 Miliar Sebagai Sahabat'

Koordinator Tim Kuasa Hukum, Nursyahbani Katjasungkana, membeberkan satu per satu temuan kejanggalan. Pertama, proses penanganan perkara Widjojanto bukan murni penegakan hukum.
KPK Ajak Pengusaha Cegah Korupsi di Sektor Swasta

Hal itu terbukti dalam fakta bahwa berkas perkara Widjojanto dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan Agung pada Mei 2015. Namun baru ditindaklanjuti Bareskrim Polri dengan penyerahan barang bukti dan tersangka pada pertengahan September 2015.
 
“Tuduhan Bareskrim kepada BW diduga kuat dilakukan hanya untuk mencopot BW (Bambang Widjojanto) sebagai pimpinan KPK," kata Nursyahbani dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada Kamis, 19 September 2015.

Lambatnya dilakukan penyerahan tahap kedua, kata Nursyahbani, diduga kuat sebagai upaya mengulur waktu penanganan perkara BW. "Setidaknya sampai benar-benar memastikan BW tidak dapat kembali menjadi Wakil Ketua KPK,” kata Nursyahbani.

Kejanggalan kedua ialah penambahan pasal dalam surat panggilan penyerahan Widjojanto. Dalam surat panggilan terdapat pasal baru yang dituduhkan kepada Widjojanto, yakni Pasal 266 KUHP.

Bunyi pasal itu berbunyi: (1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

“Sebelumnya dalam proses penyidikan, BW sama sekali tidak pernah diperiksa dengan tuduhan Pasal 266 KUHP. Namun saat berkas sudah lengkap dan akan diserahkan ke Kejaksaan Agung, tuduhan pasal 266 tiba-tiba muncul,” kata Nursyahbani.

Kejanggalan berikutnya, sejak awal Bareskrim menyatakan memiliki bukti lebih dari cukup. Nyatanya, hasil penyidikan Bareskrim berkali-kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung untuk dilengkapi.

“Tidak hanya itu, mantan Dirtipideksus Victor Simanjuntak justru menggantungkan penanganan perkara BW pada perkara lain, yang artinya ia masih ragu dengan hasil penyidikan Bareskrim,” ujar Nursyahbani.

Kejanggalan lain adalah niatan Bareskrim untuk menjadikan perkara Zulfahmi Arsyad (adik sepupu Bupati Kotawaringin Barat) sebagai penyambung keterlibatan Widjojanto. Namun, fakta di persidangan atas kasus Zulfahmi justru membuktikan ketidakprofesionalan penyidik dalam penyidikan perkara kasus itu.

“Saksi-saksi yang dihadirkan tidak ada yang membuktikan keterlibatan Zulfahmi, terlebih lagi keterlibatan BW. Hal ini diperkuat dengan putusan hakim yang tidak bulat, dan sama sekali tidak menyebt nama BW,” ujar Nursyahbani.
 
Widjojanto disangka melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kasus kesaksian palsu saat dia menjadi kuasa hukum dalam perkara sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Dia ditengarai mengarahkan saksi Ratna Mutiara untuk memberikan kesaksian palsu dalam sidang sengketa pilkada itu. Widjojanto adalah kuasa hukum dari Ujang Iskandar, yang kini menjabat Bupati Kotawaringin. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya