Demi Cari Nafkah, Mereka Nekat Menembus Jerebu

Upaya Pemadaman Kebakaran Lahan di Sumatera Selatan
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id
Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?
- Pagi-pagi sekali Emi harus bangun. Ia terpaksa melawan rasa kantuk yang masih membuat matanya berat terbuka. Maklum, belum puas tidur, kini ia harus bangun sebelum adzan Subuh berkumandang di mesjid.

Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau

Ibu dua orang anak ini harus menyiapkan adonan Lopek Bugi yang akan dijajakan di pinggir jalan Pekanbaru-Bangkinang KM 37, tepatnya di desa  Poluong. Lopek Bugi adalah lepat ketan.
Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat


Bersama belasan ibu-ibu rumah tangga lainnya, Ami jualan lopek bugi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Usaha ini ia rintis bersama suaminya, Muhammad Eri, sebagai mata pencarian keluarga.

Desa Poluong tak jauh dari kawasan Rimbo Panjang. Masih satu kecamatan. Di Rimbo Panjang inilah salah satu dari ratusan titik kebakaran yang tiap tahun terjadi di Riau.


Bila musim kemarau datang, kebakaran pun tak terelakkan. Kabut asap atau jerebu dalam penyebutan warga Melayu, pun tak bisa dibendung.


Sementara komitmen pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk mengentaskan kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap tak pernah terbukti.


Kondisi ini berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan Emi serta ratusan bahkan jutaan masyarakat Riau lainnya. "Sekarang, bukan untung yang kami dapat, malahan rugi. Modal awal satu juta rupiah, pendapatan hanya paling tinggi delapan ratus ribu rupiah," keluh Ami, didampingi suaminya sembari menyusun Lopek Bugi di pondok kecil pinggir jalan.


Meski rugi, ia terpaksa harus tetap jualan. Karena ini satu-satunya mata pencarian keluarganya. Demi pelanggan, ia harus mengadu nasib berjualan di tengah-tengah kabut asap.


"Kalau tidak jualan, nanti pembeli tidak datang. Kita tak mau pelanggan tetap kita berasumsi kita tidak jualan lagi. Nanti kalau kabut asap hilang, mereka malah juga hilang. Bisa tambah parah ruginya," Emi berkata.


Sebelum kabut asap menyelubungi Riau sejak beberapa bulan yang lalu, Emi mampu memperoleh keuntungan Rp500 ribu hingga Rp800 ribu. Namun kini, untungnya tipis.


"Balik modal saja sebenarnya sudah bersyukur. Kalau untung sedikit, alhamdulillah. Karena tak jarang kami malah rugi," paparnya.


Sementara Eri menjelaskan bahwa merosotnya pejualan mereka ini tak lain karena dampak kabut asap. Pembeli berkurang akrena masyarakat memilih mengurangi aktivitas di rumah. Diperparah kondisi ekonomi yang tak jelas juntrungnya.


"Kalaupun ada yang membeli, itu orang yang melintas menggunakan mobil saja. Kalau pesepeda motor mulai jarang yang singgah," sebutnya.


Emi dan Eri jualan mulai pagi hari. Saat kabut asap sedang pekat-pekatnya, ia harus ke luar rumah menerobos kabut asap yang siap-siap mengancam kesehatannya.


Eri mengaku tidak pernah mendapat bantuan masker dari pemerintah maupun pihak lainnya. Karena itu ia nekat menjalani aktivitas di luar rumah tanpa pelindung untuk bernapas.


"Pemerintah dan perusahaan hanya membagi-bagikan masker di perkotaan saja. Di simpang-simpang lampu merah. Kalau di pedesaan seperti ini mereka tak datang. Padahal, masyarakat di kota kebanyakan mampu membeli masker. Kami yang di pedesaan ini harusnya dibantu," ujar Eri pasrah dengan nada mengeluh.


Ia berharap pemerintah segera mengatasi kabut asap ini dan berniat baik mencegah agar tidak terulang lagi. "Kalau pejabat mau korupsi proyek silakan saja. Paling nanti akan berurusan dengan KPK. Tapi kalau masalah lingkungan ini tolonglah serius mengatasinya. Penegak hukum tindak tegas saja perusahaan pembakar lahan. Jangan mau terima suap dari mereka," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya