Catatan Kritis Putusan MK Soal Pemeriksaan Anggota DPR

Sumber :
  • VIVA/Lilis Khalisotussurur

VIVA.co.id - Mahkamah Konstitusi memutus perkara Nomor 76/PUU – XII/2014 mengenai uji materi Pasal 245 UU MD3. Pasal itu mengatur soal mekanisme pemeriksaan anggota DPR yang tersangkut kasus pidana.

Dalam putusannya, MK mengabaikan sebagian dari permohonan para pemohon, yakni Supriyadi Widodo Eddyono dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Daftar RUU yang Telah Disahkan DPR di Masa Sidang V

Lembaga itu memutuskan bahwa apabila aparat penegak hukum ingin memanggil anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana untuk dimintai keterangannya, maka harus mendapatkan izin dari Presiden yang dapat dikeluarkan selama 30 hari.

Putusan tersebut, mengubah pejabat pemberi izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menjadi Presiden. ICJR menilai bahwa MK tidak masuk ke dalam pokok permasalahan utama dari Pasal 245 UU MD3.

"Mengubah pejabat pemberi izin dari Presiden menjadi MKD, bukanlah inti dari persoalan pasal 245 UU MD3," kata Supriyadi W. Eddyono dan ICJR dalam siaran pers, Rabu 23 September 2015.

Menurut mereka, inti dari persoalan pasal 245 UU MD3 adalah pasal tersebut memberikan perlindungan yang berlebihan dan tidak berdasarkan atas alasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi mengintervensi independensi penegak hukum.

"Kewenangan penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum merupakan satu kesatuan dengan kemerdekaan kehakiman yang harus dijamin secara mutlak, pun apabila dilakukan perlindungan, maka hal tersebut harus dilakukan berdasarkan alasan hukum yang tepat dan itikad baik," lanjut mereka.

Para pemohon itu mengatakan pemberian hak imunitas, atau perlindungan harus ditujukan untuk menjamin kerja dari anggota parlemen, sehingga pemberian perlindungan harus melingkupi kerja dari anggota parlemen tersebut, yaitu dalam rangka melindungi kebebasan berbicara di parlemen, bukan segala bentuk tindakan apapun yang tidak terukur dan tidak jelas indikatornya.

Kemudian, kalau pun seperti dalam putusan MK, perlindungan kepada pejabat negara ditujukan agar terhindar dari rekayasa kasus, seharusnya perlindungan tersebut diberikan dalam hal terjadi proses upaya paksa, misalnya penangkapan atau penahanan, karena sudah pasti akan menggangu kinerja dari anggota DPR.

"Dalam konteks Pasal 245 UU MD3, tidak jelas kualifikasi status dari anggota DPR atau dalam tahapan apa izin diberikan. Kecenderungan Pasal 245 UU MD3 mutlak adalah untuk melindungi anggota DPR terhadap semua jenis tindakan," kata pemohon.

Keempat, lanjut pemohon, MK sama sekali tidak menyentuh persoalan potensi penundaan yang begitu lama, yaitu 30 hari dari proses perlindungan anggota DPR ini.

Pasal 245 UU MD3 membuka celah penundaan pemeriksaan pada anggota DPR selama 30 hari, meskipun nantinya dapat dilakukan pemeriksaan secara otomatis apabila Presiden tidak mengeluarkan izin, namun penundaan yang begitu lama berpotensi sangat besar mengurangi hak korban tindak pidana atas keadilan, karena proses peradilan juga akan terganggu dan tertunda.

Lalu, perlindungan yang dirancang secara berlebihan tersebut telah melanggar prinsip non-Diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di didapan hukum.

"Atas dasar jabatan telah terjadi pembedaan terhadap warga negara, perlu dicatat terlepas jabatannya, anggota DPR adalah warga negara yang harus bertanggung jawab di depan hukum," tulis mereka.

Karena itu, ICJR menganggap bahwa putusan ini merupakan langkah mundur dari putusan MK sebelumnya yang menganulir ketentuan kewajiban izin Presiden pada saat melakukan investigasi terhadap pejabat negara.

Konteks pemberian izin sangat berpotensi terjadi konflik kepentingan, terlebih apabila izin tersebut dapat dimaknai sebagai perlindungan terhadap segala tindakan dari pejabat negara dalam hal ini anggota DPR dan dalam tahapan peradilan yang tidak jelas.

"Harus dipahami bahwa Presiden juga tidak terlepas dari pengaruh politik di DPR, sehingga putusan ini tidak hanya gagal menjawab persoalan hukum dalam Pasal 245 UU MD3, namun juga merupakan kemunduran dari konsep imunitas pada anggota DPR, atau perlindungan pada pejabat negara." (asp)

Soal Blok Masela, Semua Pihak Harus Turuti Presiden
Ketua DPR Ade Komarudin.

DPR Mau Tambah Posisi Wakil Ketua MKD

Penambahan itu dilakukan dengan cara merevisi UU MD3.

img_title
VIVA.co.id
4 Agustus 2016