Greenpeace: Lingkungan, Isu Terberat Manusia Abad Ini

Action for Climate Greenpeace.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Daru Waskita.

VIVA.co.id - Bertemakan #Actions For Climate, Greenpeace menggelar kemah yang diikuti sekitar 700 orang di kawasan Pantai Baru, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Acara yang berlangsung selama dua hari sejak Sabtu, 26 September hingga Minggu, 27 September 2015, bukan hanya sekedar berkemah dan piknik. Mereka datang untuk menyuarakan kampanye, kritik sekaligus solusi untuk keberlangsungan umat manusia di muka bumi.

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Dian Elviana Wulandari mengatakan acara serupa juga digelar di 30 negara lain. Meski digelar di tempat berbeda, namun suara mereka tetap sama yaitu Perubahan Iklim.

"Kondisi bumi ini memang semakin memburuk dari tahun ke tahun. Persoalan lingkungan menjadi isu sentral yang menjadi persoalan terberat manusia abad ini. Buktinya, pengungsi akibat bencana alam jauh lebih besar ketimbang pengungsi perang, katanya, Sabtu, 26 September 2015.

Dari data yang ada, suhu permukaan bumi meningkat setidaknya 2 derajat setiap tahunnya. Peningkatan itu jelas sudah menyentuh angka ambang batas. Di tahun ini saja, berdasarkan data National Geographic, suhu bumi diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 1,26 derajat.

“Itulah, sudah saatnya kita maksimalkan energi baru dan terbarukan. Tinggalkan energi fosil yang hanya mengotori udara.”

Pasca Revolusi Industri di periode 1750-1850, perusahaan dan negara maju terus berlomba untuk mengeksploitasi energi fosil. Akibatnya, tak hanya jumlahnya yang kian menipis, sisa pembakarannya pun membuat udara semakin terkotori. Dari data riset Greenpeace dan Universitas Harvard, sekitar 15.600 jiwa per tahun meninggal di usia dini akibat terpapar polusi energi kotor itu.

Sekjen ESDM: Proyek EBT Terganggu Pemangkasan Anggaran

Energi baru di Bantul

Bantul dipilih bukan tanpa alasan. Di Indonesia, Bantul tercatat sebagai lokasi percontohan energi yang masih menjadi mimpi. Padahal, pesisir selatan Bantul dipandang memiliki potensi besar untuk energi itu.

Sebagai negara yang terletak di pusat equator, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan. Sayangnya, tak lebih dari empat persen saja yang dipakai. Selebihnya, Indonesia masih tergantung pada penggunaan energi fosil yang hanya merusak alam.

Di hamparan pasir Dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, sebanyak 54 tiang berdiri tegak. Kincir-kincirnya terus berputar seiring dengan tiupan angin pantai yang seolah tak pernah mereda.

Tiap putaran kincir itulah yang turut memutar harapan warga sekitarnya. Tak hanya sekadar bermimpi, kincir-kincir itu adalah harapan sekaligus bukti bahwa dari Bantul lah perbaikan iklim bumi ini bisa dimulai.

Muskil bukan berarti mustahil. Setidaknya itulah yang dirasakan Suwandi, warga yang bertugas mengurusi kincir-kincir agar tetap berputar dan memproduksi listrik bagi masyarakat sekitarnya.

“Setiap kincirnya mampu memproduksi 2,5-10 kilowatt. Listrik kami alirkan untuk warung-warung di sekitar sini,” tuturnya.

Tak hanya 54 kincir saja, setiap harinya, Suwandi dan rekan-rekannya juga sibuk memeriksa setidaknya 174 panel tenaga surya. Uniknya, tak hanya untuk menerangi kawasan sekitar Pantai Baru, listrik dari hasil kincir dan panel itu juga berfungsi untuk mesin pembuat es batu.

Es-es itu dibuat dari mesin pencetak es kristal yang bekerja secara otomatis. Air yang sudah melalui penyaringan masuk ke mesin pembuat es. Setiap 20 menit, satu mesin akan menghasilkan 1,5 kilogram es kristal. Sekitar 60 warung kuliner atau 80 persen dari jumlah warung kuliner yang ada dan juga warga sekitar membeli es dari mesin yang bersumber dari tenaga hybrid ini.

“Harganya Rp500 per kilogramnya,” ujar dia.

Sebagai sebuah upaya, langkah Suwandi dan rekan-rekannya bukan tanpa kendala. Persoalan terbesarnya kini pada ketersediaan baterai penyimpan energi surya di masing-masing panel.

Baterai itu berfungsi untuk menyuplai aliran listrik sumber surya ke piranti listrik. Tanpa baterai, aliran listrik pasti akan berhenti saat matahari tak menampakkan lagi sinarnya. “Itulah sebabnya, dibutuhkan baterai untuk menyimpan tenaga,” katanya.

Hanya saja, perawatan dan penggantian baterai itulah yang kemudian jadi persoalan. Harga yang terus melonjak sudah tentu tak mampu mereka ikuti.

“Untuk itu, kami sudah menyiapkan anggaran di APBD [Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah] DIY,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIY Andung Prihadi.

Ilustrasi/Bandara Adi Sutjipto

Menanti Pintu Gerbang Dunia di Kulonprogo

Sudah lama direncanakan, belum tereksekusi.

img_title
VIVA.co.id
8 Agustus 2016