- VIVA/Tudji Martudji
VIVA.co.id - Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhnur Satyahaprabu mengatakan tiga anggota Kepolisian yang diduga terlibat dalam mafia pasir besi Lumajang saat ini sedang melaksanakan sidang etik.
Ketiga anggota polisi itu masing-masing menjabat Babinkamtibnas, Kanitreskrim, dan mantan Kapolsek Pasirian. Munhur menduga, arah sidang etik Polri ini hanya sebatas pada persoalan etik dan tidak masuk ke ranah pidana.
"Jelas ada laporan masyarakat, Polda setahun 2 kali melakukan sidak. Tidak mungkin setingkat Polda tidak tahu ada peristiwa pertambangan pasir ilegal di Lumajang. Itu keterangan masyarakat yang harus diklarifikasi Polda," ujar Muhnur dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta, Jumat, 16 Oktober 2015.
Sementara itu, aktivis Kontras, Ananto mengatakan tiga orang anggota polisi yang diduga menerima gratifikasi harus dikenai pasal tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab kalau aparat hukum menerima gratifikasi dan tidak melaporkannya dalam 30 hari, maka gratifikasi tersebut bisa dikategorikan sebagai suap.
"Ini masuk ke pasal tindak pidana korupsi sebab 3 orang anggota polisi menerima gratifikasi," ujar Ananto pada kesempatan yang sama.
Sebelumnya, kepolisian Lumajang menetapkan Kepala desa Selok Awar-awar Lumajang Hariyono sebagai otak kasus penambang pasir ilegal dan pembunuhan Salim Kancil serta penganiayaan Tosan.
Atas kasus ini, Hariyono baru dijerat dengan Pasal 158 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Padahal ia diduga memberikan suap pada tiga anggota kepolisian untuk melancarkan aksi kejahatan penambangan pasir besi.