Pemberedelan Majalah Lentera Mirip Gaya Orde Baru

Foto sampul Majalah Kampus Lentera yang dibredel polisi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Lentera, majalah yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, diberedel Kepolisian setempat. Seluruh majalah yang telah didistribusikan diminta ditarik dan diserahkan kepada polisi.
Kasus Tragedi 1965 Harus Diselesaikan

Majalah yang ditarik dari peredaran adalah edisi ketiga yang terbit pada 10 Oktober 2015. Dalam edisi itu, Lentera menulis artikel berita seputar tragedi tahun 1965 atau lebih dikenal dengan istilah G30S (Gerakan 30 September 1965) berdasarkan peristiwa di Salatiga. Artikel itu berjudul Salatiga Kota Merah.
Mendiang Adik Pramoedya Ternyata Sudah Siapkan Album Lagu

Polisi menyatakan, penarikan majalah itu karena alasan keamanan dan ketertiban atau mencegah gangguan ketertiban masyarakat. Pasalnya, tak lama setelah majalah itu terbit, banyak warga yang protes. Mereka menganggap majalah itu menyebarkan paham komunisme sehingga meresahkan.
LBH Pers: Kepolisian Jadi Lembaga Paling 'Baper'

Pakar ilmu politik asal Universitas Diponegoro Semarang, Susilo Utomo, menilai, alasan polisi tersebut tak berdasar. Dia bahkan mengganggap alasan itu menyerupai gaya pemerintahan otoriter seperti rezim Orde Baru.

"Bahasa bikin resah itu merupakan produk pemerintahan otoriter. Kemudian muncul kalimat diberedel. Kasus pemberedelan ini bahkan mirip gaya Orde Baru saat itu," kata Susilo kepada VIVA.co.id di Semarang, Rabu, 21 Oktober 2015.

Dia mengingatkan, bahwa kebebasan pers dijamin oleh konstitusi, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Majalah Lentera termasuk dalam karya jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Pers. Menarik majalah itu dari peredaran sama saja dengan memberedel, yang berarti pula melanggar konstitusi.

Lagi pula, Susilo menambahkan, masyarakat dapat menyampaikan koreksi kalau ada hal yang dianggap keliru dalam pemberitaan majalah Lentera, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Lembaga pers, termasuk majalah Lentera, pun berkewajiban mengoreksi kalau memang ada yang salah.

Untuk itu, langkah polisi menarik majalah terbitan mahasiwa UKSW itu tidak tepat. "Kasus penarikan itu sudah masuk pada pembredelan, karena sudah bagian dari menghilangkan nilai demokrasi dan suara publik. Itu bisa dikatakan antidemokrasi," ujarnya mengecam.

"Tidak boleh ditarik. Kalau ada yang keberatan, sesuai kaidah jurnalistik dan Undang-Undang Pers, bisa disampaikan. Siapa yang keberatan, dan dimuat di edisi berikutnya," ujarnya menambahkan.

Selayaknya, kata Susilo, jika ada masyarakat yang keberatan dengan artikel majalah Lentera, mereka bisa menyampaikan secara terbuka. Kalau pun majalah itu terpaksa ditarik, harus berdasarkan alasan yang tepat.

"Apa dasar hukum pembredelan itu. Kalau memang dianggap melanggar, kan, jelas, bahwa (berdasarkan) Undang-Undang Pers, bisa ditangani oleh Dewan Pers, bukan ditarik seperti itu."

Sementara, berdasarkan kajian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap artikel yang ditulis LPM Lentera edisi 10 Oktober 2015, tak ada prinsip maupun kode etik jurnalistik yang dilanggar. Sebaliknya, hasil reportase itu dibuat berdasarkan prinsip kerja jurnalistik yang memadai, yakni wawancara dengan narasumber, observasi untuk reportase hingga menggunakan dokumen dan literatur yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.

Civitas Akademika Kampus UKSW Salatiga menyatakan bahwa majalah Lentera ditarik karena telah menyalahi prosedur kampus. Sebab, penerbitan majalah yang memuat perihal peristiwa 1965 itu sebelumnya tidak dikonsultasikan dengan jajaran civitas akademika kampus.

Kampus membantah bahwa upaya penarikan majalah itu disebut sebagai pemberedelan. Upaya itu dinilai adalah bagian dari sikap antisipasi terhadap perdebatan yang muncul di tengah masyarakat terkait tulisan mahasiswanya.

(mus)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya