Qanun Jinayah Aceh Digugat Ke MA

Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, saat malam hari.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Zulfikar Husein

VIVA.co.id - Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) dan Solidaritas Perempuan mengajukan judicial review untuk Qanun (perda) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayah.

Perempuan Aceh Ini Pingsan setelah Dicambuk 12 Kali
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, mengatakan ia meminta agar Qanun hukum Jinayah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan sejumlah undang-undang.

Warga Nonmuslim Dicambuk, Ini Kata Dinas Syariat Islam
"Qanun hukum Jinayah yang berlaku sejak 28 September 2015 bertentangan dengan 9 undang-undang diantaranya KUHP, KUHAP, UU HAM, UU Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU Pengesahan Kovenan Anti Penyiksaan, Pengesahan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Peradilan Pidana Anak, dan UU Perlindungan Anak," ujar Supriyadi usai mendaftarkan uji materi di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis 22 Oktober 2015.

Perempuan Nonmuslim di Aceh Dicambuk Gara-gara Jual Miras
Ia mencontohkan tuduhan zina bertentangan dengan hak-hak perempuan dan KUHAP. Sebab dalam Qanun hukum Jinayah ada kewajiban korban perkosaan memberikan bukti, sumpah tambahan yang diakui sebagai alat bukti, dan penetapan hakim sebagai dasar pemidanaan hukuman cambuk. 

Menurutnya korban pemerkosaan akan terbebani pembuktian yang seharusnya menjadi tanggung jawab jaksa penuntut umum. Lalu dalam KUHP, penetapan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana. Tapi pidana harus dengan putusan hakim. 

Selanjutnya, perwakilan dari Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy mengatakan biasanya korban pemerkosaan sulit memberikan alat bukti. Selain itu, korban juga biasanya terbebani oleh beban psikologis.

"Pengaturan sumpah sebagai alat bukti dalam Qanun Jinayah juga mengandung impunitas. Sebab dengan beberapa kali sumpah, pelaku pemerkosaan bisa dibebaskan," ujar Puspa pada kesempatan yang sama. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya