Kinerja 10 Menteri Ini Dinilai Terburuk

10 Menteri dengan Kinerja Terburuk
Sumber :
  • Riset SETARA
VIVA.co.id
Saleh Husin: Reshuffle Jadi Titik Balik Perbaikan Ekonomi
- Presiden Joko Widodo disarankan untuk fokus kepada 10 menteri yang dinilai memiliki kinerja terburuk berdasarkan hasil studi kualitatif yang dilaksanakan SETARA Institute. 

Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan studi lembaganya dilakukan sebagai bagian dari kontribusi masyarakat sipil kepada pemerintahan.

Reshuffle Tak Pengaruhi Aturan TKDN

Perombakan kabinet atau reshuffle terhadap 10 menteri yang dianggap memiliki kinerja paling buruk diharapkan memberi penguatan kepada Kabinet Kerja pada periode tahun kedua masa pemerintahan Presiden Jokowi.

"Jika pada reshuffle pertama Jokowi fokus pada menteri-menteri di bidang perekonomian, pada reshuffle kedua, Jokowi kembali didorong fokus kepada para menteri di bidang itu. Ditambah menteri dan pejabat setingkat menteri yang mengurusi bidang politik, hukum, dan keamanan," ujar Ismail dalam pemaparan hasil studi yang dilakukan di kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Minggu, 15 November 2015.

Begini Respons Negara Islam Terkait Sri Mulyani

SETARA Institute melakukan pengukuran kinerja menteri dengan metode studi kualitatif.

Peneliti SETARA Institute, Aminudin Syarif, mengatakan studi dilakukan dengan cara mengkaji dokumen-dokumen yang dianggap relevan. Seperti dokumen perencanaan kerja kementerian, laporan kerja, laporan serapan anggaran, hingga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pemerintah periode 2014-2019.

SETARA mengadopsi empat variabel untuk menilai setiap menteri. Variabel-variabel itu adalah kompetensi kepemimpinan, dukungan politik, kinerja lembaga, dan capaian kinerja sesuai latar belakang menteri yang bersangkutan.

Dari keempat variabel, ditentukan tujuh indikator yang menjadi dasar pemberian skor. Ketujuh indikator itu adalah kemampuan komunikasi, kualitas perencanaan, tingkat serapan anggaran, pencapaian kinerja, latar belakang pendidikan, pengalaman, dan dukungan politik.

"Karena bersifat kualitatif, maka subjetivitas dari para peneliti tidak bisa terlepas," ujar Aminudin.

Adapun studi perlu dilakukan dengan melihat kecenderungan Presiden Joko Widodo yang senang menggunakan dasar pemberitaan media untuk mengevaluasi kinerja menteri, terutama menjelang masa reshuffle.

"Tanpa pembanding (dari survey yang menggunakan metode kuantitatif), dikhawatirkan masukan yang diterima Jokowi (untuk melakukan reshuffle) hanya berupa pencitraan yang dilakukan para menteri," ujar Ismail Hasani.

Sepuluh menteri yang dinilai memiliki kinerja buruk dianggap tidak memberi kontribusi terhadap prestasi pemerintahan. Beberapa di antaranya bahkan dianggap hanya menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu, baik secara politik maupun terhadap bidang yang ditangani.

Ismail menyebut 10 menteri itu yakni, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Jaksa Agung HM Prasetyo, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Energi dam Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohanna Yambise.

Kesepuluh menteri masing-masing memperoleh skor berturut-turut dari yang terburuk 4,43 (Rizal Ramli), 4,57 (HM Prasetyo), 5,14 (Arief Yahya), 5,28 (Sudirman Said), 5,71 (Rini Soemarno), 5,86 (Bambang Brodjonegoro), 5,86 (Yasonna Laoly), 6,14 (Thomas Lembong), dan 6,14 (Yohanna Yambise).

"Jokowi-JK didorong untuk sungguh-sungguh menata stabilitas kerja Kabinet Kerja dengan menghindarkan kegaduhan-kegaduhan politik yang tidak perlu," ujar Ismail. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya