Freeport Belum Penuhi Syarat yang Diajukan Jokowi

Tambang Freeport di Papua.
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id - Terbongkarnya kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres, yang meminta jatah saham ke PT Freeport Indonesia, kembali memunculkan diskusi soal perpanjangan kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.

Papua Bangun Kompleks Olahraga Mewah untuk PON 2020

Kontrak Freeport akan habis pada tahun 2021. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.77 tahun 2014 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka pembahasan kontrak dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak tersebut habis.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, sebenarnya saat ini saja Freeport belum mampu memenuhi syarat-syarat yang diminta Presiden Joko Widodo. Pertama soal royalti, kedua pembangunan smelter, ketiga lokal content dan divestasi.

Rampingkan Organisasi, Saham Induk Freeport Melonjak

"Tapi kalau kita lihat juga, kalau saya boleh mengomentari sedikit, divestasi dan smelter harus sudah dilakukan Freeport beberapa waktu yang lalu. Jadi sebenarnya mereka sudah tidak memenuhi itu," ujar Luhut di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis, 19 November 2015.

Ia mengatakan, hingga kini, divestasi saham juga belum dilakukan oleh Freeport. "Ya itu harusnya sudah 30 persen dari beberapa waktu yang lalu kan," katanya menambahkan.

Apa Kabar Divestasi Saham Freeport?

Sehingga, dengan syarat-syarat itu, Luhut menilai susah untuk bisa dilakukan perpanjangan kontrak Freeport. "Menurut saya Freeport harus melakukan evaluasi. Minta perpanjangan wong dia punya divestasi kewajiban bikin smelter saja dia belum lakukan," ujarnya.

Menurut dia, proses negosiasi harus menguntungkan Indonesia. Perpanjangan kontrak seharusnya tidak dilakukan bila tidak menguntungkan. "Kalau negosiasinya tidak menguntungkan Republik Indonesia ngapain kita perpanjang," katanya.

Bahkan Luhut mengaku, bisa saja nanti Freeport dibuat seperti blok Mahakam. "Di mana Mahakam itu begitu expired kontraknya pada 2017, maka itu kembali pada negara, milik Pertamina, mereka yang akan nyari partnernya siapa saja," ujarnya mencontohkan.

Pada kasus Blok Mahakam, Pertamina diberi kebebasan, misalnya menggandeng Total sebagai pelaksana di lokasi itu. Untuk kasus Freeport, bisa juga nanti dibuat seperti itu. "Kalau pun nanti 2021 itu expired kontraknya, itu menjadi milik pemerintah Indonesia. Bisa saja nanti pemerintah Indonesia menunjuk Antam dan Antam jadi pemegang utama."

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya