Survei: Publik Khawatir Teror Paris Merembet ke Indonesia

Paris berduka
Sumber :
  • Reuters/Jorge Dan Lopez

VIVA.co.id - Aksi terorisme yang terjadi di Paris, Prancis, pada Jumat 13 November 2015 menimbulkan dampak psikologis terhadap masyarakat Indonesia. Bahkan, mayoritas masyarakat mengaku khawatir aksi serupa terjadi di Indonesia.

Timnas Jerman Siap Jika Harus Bermain Tanpa Penonton

Peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Fitri Hari, mengatakan, sebanyak 84,62 persen publik mengaku khawatir terjadinya aksi serupa di Indonesia.

"Jadi, mayoritas yang kami survei, mengaku 84,62 persen menyatakan khawatir terjadi aksi terorisme seperti di Paris, dan hanya sebesar 13,19 persen yang tidak khawatir. Sedangkan 2,19 persen tidak menjawab," kata Fitri di kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis, 19 November 2015.

Pelaku Serangan Paris Dijatuhi Hukuman Hari Ini

Fitri menjelaskan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan LSI, ada empat alasan mengapa mayoritas publik khawatir serangan yang diduga dilakukan oleh kelompok radikal di Paris tersebut akan merembet ke Indonesia. Alasan pertama, mayoritas publik khawatir karena aneka berita mengenai ISIS sudah hadir di Indonesia dan Asia Tenggara.

"Berita penangkapan orang yang diduga terlibat ISIS di Bogor oleh Densus 88, disertai seragam ISIS, buku jihad dan lainnya, menjadi tanda adanya ISIS di Indonesia. Publik khawatir Indonesia akan dijadikan target ISIS selanjutnya," ujar Fitri.

Salah Abdeslam, Pelaku Utama Serangan Paris 2015 Tertangkap

Alasan kedua, beberapa tahun lalu di Indonesia sempat terjadi aksi terorisme. Dengan adanya peristiwa di Paris, publik khawatir benih terorisme di Indonesia akan muncul lagi. "Sebanyak 82,50 persen orang menyatakan khawatir aksi terorisme akan kembali terjadi di Indonesia," katanya.

Kondisi ekonomi yang semakin sulit di kalangan masyarakat bawah, juga menjadi alasan publik khawatir potensi terorisme akan meningkat.

"Karena, pada kasus terorisme yang terjadi sebelumnya di Indonesia, latar belakang pelaku teror adalah mereka yang kehidupan ekonominya sulit," ujarnya.

Alasan yang keempat adalah munculnya peraturan daerah (perda) dan aturan pemerintah daerah yang diskriminatif. Menurut publik, hal itu bisa memicu radikalisme dan sektarianisme makin meluas.

Kejadian di Tolikara adalah kasus terkini yang disebabkan aturan pemerintah yang diskriminatif yang akhirnya memunculkan kekerasan. Selain itu, ada kasus pelarangan perayaan ritual hari Asyura oleh Pemda di Bogor.

"59,62 persen publik percaya, perda yang diskriminatif akan membuka kesempatan tindakan kekerasan yang lebih besar seperti terorisme," kata dia.

Survei yang dilakukan oleh LSI ini dilakukan melalui quick poll pada tanggal 15-17 November 2015, dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan 600 responden dan dengan margin of error sebesar +/- 4,0 persen. Survei dilakukan di 33 provinsi di Indonesia yang juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan wawancara mendalam.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya