Pejabat Negara Dihina Harus Laporkan Aduan Sendiri

Sumber :
  • Lilis Khalisotussurur
VIVA.co.id -
Presiden Jokowi Santai UU Amnesty Digugat
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon terkait pelaporan atas dugaan penghinaan terhadap pejabat negara dalam KUHP. Melalui putusan ini, MK menghapus frasa 'kecuali berdasarkan Pasal 316' dalam Pasal 319 KUHP.

Pemerintah Berikan Insentif jika Tapera Dianggap Memberatkan

Dengan demikian, jika terjadi penghinaan pada pejabat negara, maka pejabat yang bersangkutan harus melaporkan sendiri aduan dugaan penghinaannya. 
Penuhi Syarat Formal, MK Loloskan Tujuh Gugatan Pilkada


"Mengabulkan permohonan para pemohon. Menyatakan Pasal 319 KUHP sepanjang frasa kecuali berdasarkan Pasal 316 bertentangan dengan UUD 1945," ujar Hakim Ketua Anwar Usman dalam sidang uji materi KUHP di Gedung MK, Jakarta.


Gugatan ini diajukan oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Humanis Tegal, Agus Slamet, dan Ketua LSM, Amuk Tegal Komar Raenudin. Keduanya sempat ditahan lima bulan dan akhirnya bebas dengan jaminan sebagai tahanan kota.


Mereka ditahan karena dianggap mencemarkan nama baik Wali Kota Tegal Siti Masitha lewat status kritis di Facebook. Pelaporan terhadap dua aktivis ini dilakukan justru oleh pihak ketiga yaitu Amir Mirza Hutagulung.


Mereka mengajukan gugatan atas Pasal 319 yang mengatur penghinaan terhadap seseorang tidak akan mendapatkan ancaman dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena jahat kecuali berdasarkan Pasal 316 KUHP.


Adapun Pasal 316 KUHP berisi ketentuan adanya penambahan sanksi bagi penghina sebanyak sepertiganya jika yang dihina adalah pejabat negara. Menurut pemohon, frasa 'kecuali berdasarkan Pasal 316' menunjukkan kalau yang dihina adalah pejabat negara maka pihak ketiga atau yang tidak berkepentingan langsung boleh melaporkan penghinaan yang dilakukan orang lain.


Dalam pertimbangan Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan tidak relevan lagi membedakan pengaturan pada anggota masyarakat dengan penghinaan pada pejabat negara atau pegawai negeri. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 yang memposisikan manusia sederajat dan berkeadilan.


"Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi tuan pada era kolonialisme menjadi pelayan masyarakat pada era kemerdekaan, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan hukum masing-masing pihak," ujar Suhartoyo pada kesempatan yang sama.


Ia menambahkan dengan perkembangan teknologi juga membawa dampak besar bagi delik penghinaan dalam dua hal. Pertama, penghinaan menjadi lebih mudah dan akibatnya menjadi lebih sering dilakukan misalnya melalui media sosial.


Kedua, teknologi menjadikan lebih mudah pula pelaporan oleh korban penghinaan. Pada masa lalu, tempat penghinaan dan kantor aparat memiliki jarak yang cukup jauh. Tapi kini, dengan teknologi memudahkan pelaporan atau pengaduan penghinaan sehingga memperpendek jarak tempuh.


Selanjutnya, jika terjadi penghinaan pada pejabat negara, lalu pengaduan harus dilaporkan sendiri oleh pejabat  bersangkutan, dikhawatirkan akan mengurangi efektivitas mereka dalam bekerja. Apalagi jika jumlah penghinaannya banyak. Sebab pejabat negara biasanya memiliki kemungkinan lebih besar untuk dihina.


"Tapi potensi kemudahan yang diberikan pejabat negara mengadukan penghinaan berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar," kata Suhartoyo.


Ia melanjutkan pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, bisa jadi tidak merasa dirugikan oleh tindakan pelaku penghinaan dan bersedia memaafkan. Tapi ternyata terdapat pihak ketiga yang memanfaatkan momentum menyerang pelaku penghinaan tanpa dikehendaki korban penghinaan.


Lalu bisa saja pejabat korban penghinaan merasa dirugikan tapi menyuruh orang lain melaporkan untuk membangun citra pemaaf. Tindakan ini dinilai menjadi cerminan karakter tidak terbuka dan mementingkan citra.


"Hukum di Indonesia, secara moral tentu tidak diarahkan untuk membangun sikap mental demikian," kata Suhartoyo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya