Hasyim Muzadi Klarifikasi Tudingan Membela Syiah

Mantan Ketua Umum NU, KH Hasyim Muzadi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Hasyim Muzadi, mengklarifikasi tudingan atau anggapan bahwa dia membela ajaran Syiah atau memiliki kedekatan khusus dengan kelompok itu.
Media Dianggap Belum Lindungi Kaum Minoritas
 
Anggapan itu karena aktivitasnya sebagai Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Organisasi internasional para cendekiawan muslim telah empat kali menggelar konferensi dan dihadiri para ulama/cendekiawan dari 67 negara, termasuk Iran—negara dengan populasi penganut Syiah terbesar di dunia.
Hasyim Muzadi: LGBT Menyimpang, tapi Wajib Disantuni
 
Menurut Hasyim, aktivitas ICIS tak kaitan dengan membela atau memiliki kedekatan khusus dengan Syiah. Dia memang mendukung Iran mengembangkan proyek nuklirnya—sepanjang bukan untuk kepentingan militer—karena itu hak segala bangsa.
Iran dan Cina Perluas Kerja Sama Bilateral
 
Dia bersama pemerintah Indonesia pun mengecam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyanksi Iran dengan embargo karena program nuklirnya.
 
Tetapi, Hasyim menegaskan, sikap itu murni untuk pembelaan pada hak Iran, bukan didasarkan pada ajaran atau ideologi Syiah.
 
“Hasil dari dukungan terhadap proyek nuklir Iran, sekarang embargo dari Barat sudah dicabut,” kata Hasyim melalui keterangan tertulis kepada VIVA.co.id pada Selasa, 26 Januari 2016.
 
Pembelaan serupa dia tunjukkan pula pada gerakan perlawanan terhadap Israel di perbatasan Lebanon Selatan yang dipimpin Hasan Nashrullah.
 
Hasyim kini masih menjadi pengurus Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Mekkah Arab Saudi, negara dengan sebagian besar populasi penganut Sunni/Wahabi. Di saat yang sama dia juga mengonsolidasikan gerakan moderat Islam Sunni di Kawasan Asia Tenggar, misalnya, Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam.
 
“Malaysia dan Brunei Darussalam termasuk negara yang melarang pengembangan paham syiah, karena menurut negara tersebut, kalau Syiah menjadi besar dan sebanding besarnya dengan Ahlussunnah wal Jamaah bisa terjadi konflik terbuka di kalangan masyarakat, seperti pertikaian di Timur Tengah,” ujar Hasyim, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
 
“Saya tidak pernah bersedia dan menyetujui ajakan Syiah untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang pendidikan dan haji, karena hal tersebut akan menjadikan kegoncangan umat Islam Sunni di Indonesia,” dia menambahkan.
 
Diplomasi
 
Gerakan ICIS, kata Hasyim, tak bersifat ideologis, melainkan diplomasi untuk membantu menjembatani upaya perdamaian dunia. Relasinya dengan banyak kalangan yang berbebeda ideologi atau paham pun tak dapat serta-merta dianggap sebagai pemihakan.
 
“Kalau saya ke Saudi, bukan berarti saya Wahabi. Kalau saya ke China, bukan berarti saya setuju neo-komunisme. Kalau saya ke Eropa barat dan Eropa timur, bukan berarti saya menyetujui neoliberalisme,” ujarnya.
 
“Begitu juga kalau saya ke Iran, bukan saya setuju dengan Syiah, karena tentu saya tidak mungkin menyalahkan atau mencaci maki sahabat Nabi,” dia berargumentasi.
 
Diplomasi melalui jalur nonpemerintah (second track diplomacy) yang dijalankan ICIS, kata Hasyim, memiliki misi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin sekaligus pengenalan Pancasila sebagai alternatif ideologi bagi negara yang penduduknya beragam. “Agar tidak terjerumus menjadi negara sekuler.”
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya