Kontras Ungkap Beragam Motif Kriminalisasi

Sumber :
  • Antara/ Ismar Patrizki

VIVA.co.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penegak hukum masih ada yang melaksanakan tugasnya di luar kepentingan penegakan hukum, atau dikenal dengan istilah kriminalisasi.

Haris Azhar Tolak Bergabung di Tim Investigasi Testimoni

Koordinator Kontras, Haris Azhar, mengatakan, ada berbagai motif aparat penegak hukum, yang membuat korban dirugikan. Motif tersebut di antaranya merusak reputasi korban, menghalangi korban melakukan aktivitasnya, kepentingan politik, hingga kepentingan ekonomi.

"Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus penegak hukum, namun bisa saja pihak lain yang menyuruh penegak hukum," ujar Haris dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat 5 Februari 2016.
Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar
 
Menurut Haris, ada tujuh indikator yang menunjukkan terjadinya kriminalisasi. Pertama, yaitu adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara, biasanya terlihat adannya diskriminasi atau keberpihakan penegak hukum pada pihak pelapor.
DPR: Kicauan Freddy Budiman Adalah Pintu Masuk
 
Kemudian, penggunaan pasal pidana yang berlebihan atau tidak tepat dengan peristiwa yang terjadi. "Terutama pasal-pasal yang dapat dikenakan penahanan terhadap korban," tuturnya.
 
Selanjutnya, proses penanganan perkara tidak sesuai hukum acara pada KUHAP, dan administrasi perkara yang buruk. Keempat, penggunaan upaya paksa secara berlebihan, seperti menggunakan kekerasan dalam proses hukum.
 
Kelima, adanya kesenjangan untuk tidak mempercepat penanganan perkara. Selain itu, ketidakwajaran pada pihak yang menjadi pelapor tindak pidana. Dan terakhir, lemahnya bukti permulaan yang dimiliki penyidik.
 
"Indikator itu tentunya bisa ditambahi, namun ketujuh indikator itu adalah ukuran yang disusun dari berbagai kasus yang ada, dan bisa disimpulkan sementara sebagai rujukan untuk melihat kasus kriminalisasi," ujar Haris.
 
Sebelumnya, Kontras mencatat setidaknya terjadi 25 kasus kriminalisasi yang terjadi sepanjang 2015. Kondisi ini tidak hanya menimpa pejabat publik seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi juga berbagai lapisan masyarakat lainnya, seperti aktivis, buruh, petani hingga masyarakat sipil.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya