Soehian, Prostitusi Termasyhur di Jakarta pada Era Kolonial

Ilustrasi prostitusi
Sumber :
  • Reuters
VIVA.co.id - Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Tiongkok di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu.
Pecahan Tembok Berlin Bersemayam di Eks Prostitusi Kalijodo
 
Bahkan, sejak masa Jan Pieterszoon Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi, walau secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu.
Djarot: Kolong Tol Kalijodo Incaran Pendatang Baru Jakarta
 
Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah pada tahun 1619–1623 tahun 1627–1629.
RPTRA Kalijodo Ramai di Libur Lebaran
 
Coen pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan bermesraan dengan perwira VOC di rumahnya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang.
 
Walau Coen secara tegas menolak prostitusi, kenyataannya ia dan pengganti-penggantinya kemudian tidak mampu membendung perkembangan prostitusi. Prostitusi adalah masalah klasik yang dihadapi Batavia seiring perkembangan kota itu. Perkembangan prostitusi pertama di Jakarta terkonsentrasi di kawasan Macao Po (Jakarta Kota) pada abad XVII.
 
Lamijo, dalam tulisannya berjudul Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930–1959: Sejarah dan Perkembangannya, menguraikan panjang-lebar tentang prostitusi di Batavia.
 
Seiring perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, tempat-tempat pelacuran pun mengalami perkembangan, bergeser.
 
Prostitusi tidak terkonsentrasi di satu tempat saja, misalnya, kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jayakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga.
 
Tempat itu cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi, bahkan saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit mangga.
 
Dalam perkembangan selanjutnya, kompleks pelacuran Gang Mangga tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan orang Tiongkok yang disebut soehian. Kompleks pelacuran semacam itu kemudian cepat menyebar ke seluruh Jakarta.
 
Karena sering terjadi keributan, pada awal abad XX soehian-soehian di sekitar Gang Mangga ditutup oleh pemerintah Belanda. Pemicu ditutupnya soehian adalah peristiwa terbunuhnya pelacur Indo yang tinggal di Kwitang bernama Fientje de Ferick pada tahun 1919 di soehian Petamburan.
 
Setelah soehian ditutup, sebagai gantinya muncul kompleks pelacuran serupa di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Sampai awal tahun 1970-an, Gang Hauber masih dihuni para pelacur, sedangkan Kaligot sudah tutup pada akhir 1950-an.
 
Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan pria selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis meningkatnya permintaan jasa prostitusi. Sehingga praktik-praktik prostitusi berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Pada tahun 1930, perbandingan jumlah perempuan tiap 1.000 pria di Hindia Belanda adalah sebagai berikut: Eropa, 1.000:884, Tiongkok, 1.000:646, dan Arab, 1.000:841.
 
Selain itu, kondisi perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930-an ketika terjadi krisis ekonomi, turut pula memengaruhi seorang perempuan dalam menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan adalah kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia selama masa penjajahan.
 
Sebagaimana diketahui, memasuki dasawarsa 1930-an, kekuasaan Belanda di Indonesia—dan hampir semua negara di dunia—mulai mengalami tekanan ekonomi, terlebih saat krisis ekonomi melanda dengan dahsyatnya pada tahun 1930. Keberhasilan ekonomi yang dinikmati pemerintah kolonial Belanda berakhir karena depresi ekonomi tahun 1930 itu.
 
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1920-an di antaranya disebabkan jatuhnya harga-harga komoditas internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya aktivitas ekspor dan impor.
 
Pada akhirnya berpengaruh pada berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis meningkatkan jumlah pengangguran. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya