Kades Pembunuh Salim Kancil Rutin Suap Muspika

Sidang perkara pembunuhan Salim Kancil di Pengadilan Surabaya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id - Hariyono, terdakwa dalam kasus pembunuhan aktivis antitambang pasir Salim alias Kancil, menjalani sidang di Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis, 3 Maret 2016. Dia memberikan kesaksian untuk terdakwa Husnul Rofik, pengusaha alat berat rekanannya waktu mengeksploitasi pasir di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Jawa Timur.
Kisah Tangisan Anak TK Iringi Penyiksaan Salim Kancil
 
Hariyono adalah Kepala Desa nonaktif Selok Awar-awar yang didakwa sebagai otak penganiayaan dan pembunuhan Salim Kancil. Dia kembali memberikan keterangan mengejutkan dalam sidang itu. Selama lima tahun, dia mengaku menyetor uang Rp1 juta per bulan sebagai ‘jatah preman’ kepada pejabat Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat.
Tambang Ilegal di Tanah Keraton, Sultan Marah
 
"Kami beri jatah Camat, Danramil (Komandan Komando Rayon Militer), dan Kapolsek (Kepala Kepolisian Sektor Pasirian) Rp1 juta setiap bulan. Saya yang berikan sendiri," kata Hariyono di hadapan majelis hakim.
Tosan Rekan Salim Kancil Kebal Ditebas Aneka Senjata Tajam
 
Dia mengaku memberikan setoran uang itu atas inisiatif sendiri, tanpa diminta pejabat Muspika. Setoran itu rutin diberikannya sejak awal menambang pada 2010 hingga terhenti pada September 2015 gara-gara peristiwa berdarah Salim Kancil.
 
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Jihad Arkanudin, Hariyono mengatakan, sebelum tambang beroperasi, dia mengaku mengikuti pertemuan dengan bahasan untuk membentuk desa wisata di Desa Selok Awar-awar. Nah, untuk mewujudkan itu, Hariyono mengusulkan pengerukan karena di lahan dimaksud banyak gundukan.
 
"Muspika menyetujui itu," kata Hariyono. Meski begitu, katanya, tidak ada perintah dari Muspika untuk melakukan eksploitasi pasir. Tapi dia juga tidak pernah dilarang ketika yang dilakukannya ternyata penambangan pasir, bukan mengelola desa wisata. "Pasirnya dijual," ujarnya.
 
Menanggapi itu, penasihat hukum terdakwa Rofik, Suryono Pane, mengaku kecewa dengan penegakan hukum kasus tambang ilegal itu. Dia melihat Polda Jatim tebang pilih dalam mengusut kasus itu.
 
"Klien saya yang hanya dua bulan bekerja pada Hariyono ditahan, sementara Camat, Danramil, dan Kapolsek yang setiap bulan dapat Rp1 juta, dan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yang dapat Rp14 juta per bulan bersama Perhutani, bebas sampai sekarang," katanya.
 
Seperti diketahui, kasus itu bermula ketika puluhan orang protambang mengeroyok aktivis antitambang, Salim Kancil dan Tosan, di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, pada 26 September 2015. Salim tewas, sementara Tosan kritis. Total 37 terdakwa perkara itu diadili di Pengadilan Negeri Surabaya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya