Kopi Terakhir Pedagang Akik sebelum Lapaknya Digusur

Alat berat dugunakan untuk membongkar lapak milik pedagang batu akik di Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Senin, 14 Maret 2016.
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.A.Pitaloka
VIVA.co.id – Lapak milik 18 pedagang kaki lima di Kabupaten Malang, Malang, Jawa Timur, digusur pada Senin pagi, 14 Maret 2016. Sebanyak 200 aparat gabungan Satpol PP, TNI, dan Kepolisian, serta dua unit alat berat dikerahkan untuk meratakan bangunan lapak para pedagang di Jalan Raya Banjararum, Kecamatan Singosari, itu.
Garut Siap Kirim Ribuan Akik untuk Cenderamata PON Jabar
 
Bangunan-bangunan semi permanen itu dianggap ilegal, karena didirikan tanpa izin di atas tanah milik Dinas Pengairan setempat.
Rizal Ramli tentang Ahok: Serahkan pada Tuhan Menghukumnya
 
Para pedagang yang telah berjualan selama 14 tahun itu hanya bisa bersimpuh dan menangisi penggusuran itu. Tak ada rencana relokasi dari pemerintah, seperti yang diinginkan para pedagang.
Ahok Tak Peduli Rusuh, Pasar Ikan Harus Ditertibkan
 
Darsono, koordinator pedagang setempat, bersandar lemas pada dinding ruang tamu salah satu rumah milik warga Desa Banjararum. Tatapannya kosong, masih teringat segelas kopinya yang entah di mana sekarang, hilang bersama ratanya lapak miliknya.
 
Darsono sedih bukan karena tak sempat menghabiskan kopinya, namun karena lapak jualan batu akiknya kini musnah, seperti milik para pedagang lainnya. Dua alat berat dibantu puluhan buruh dengan gesit merobohkan bangunan semi permanen dengan ukuran 3x4 milik Darsono dan pedagang lain sepanjang Senin.
 
“Kami sudah diperingati pada Oktober 2015 lalu lewat surat tertulis. Sudah upaya juga untuk mencari keadilan, tetapi akhirnya digusur juga. Kami merasa dizalimi, karena ada banyak pedagang di jalan ini, tetapi mengapa hanya 18 ini yang digusur,” kata Darsono.
 
Bapak dengan lima anak itu bingung harus berjualan di mana untuk menghidupi keluarganya. Sementara, tuntutan pedagang untuk mendapatkan relokasi, atau membangun kembali dengan lapak lebih bagus di tempat yang sama juga belum ada kejelasan.
 
Potensi pendapatan rata-rata Rp1 juta per bulan dari kegiatan berjualannya di lapak itu kini lenyap, seiring hancurnya lapak yang berdiri di tepi jalan utama penghubung Malang-Surabaya itu. 
 
 
Tebang pilih
 
Darsono menilai, penggusuran itu tebang pilih dan sarat kepentingan pemilik tanah di belakang lapak mereka. Soalnya, ada delapan lapak pedagang lain yang tidak tersentuh penggusuran. Hanya 18 lapak yang berderet sepanjang 60 meter di depan tanah seluas 4.500 meter yang kena gusur.
 
Pedagang pun tak mendapatkan kepastian tentang relokasi, atau pun ganti rugi tentang kelanjutan nasib mereka. “Kalau tidak ada relokasi, ya, mohon bagaimana caranya agar bisa berjualan lagi. Kami mau bekerja sama dengan pemerintah,” katanya.
 
Tak jauh dari lapak milik Darsono, ada delapan lapak pedagang yang tetap berjualan seperti biasa. Salah satunya lapak pedagang milik Anik, yang berjualan aneka apel asal Kota Batu. “Kami juga resah, tetapi mau bagaimana lagi, kalau pemilik tanah di belakang kami sudah tidak mengizinkan, ya pindah.”
 
“Tapi sampai sekarang tidak ada surat peringatan untuk pindah. Pemillik tanah yang tertutup lapak kami juga mengizinkan,” kata Anik.
 
 
Ruang terbuka hijau
 
Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Malang, Wahyu Hidayat, mengatakan bahwa penggusuran itu untuk merealisasikan program menambah ruang terbuka hijau (RTH), sekaligus mencegah banjir dengan memperlancar drainase saluran irigasi.
 
Ada sembilan titik pembangunan RTH yang akan dibangun di tahun ini dengan anggaran Rp50 juta per lokasi, seperti yang akan dibangun di Banjararum, tahun ini. Mengenai delapan pedagang lain yang belum tergusur, menurutnya, akan dilakukan bertahap, “Tidak tahun ini, tetapi akan bertahap, kami sesuaikan dengan anggaran,” kata Wahyu.
 
Dia membantah tuduhan kongkalikong dengan pemilik tanah di belakang deret lapak pedagang, meski peluang pemilik tanah untuk membangun jalan masuk di atas RTH mungkin dilakukan dengan memenuhi aturan.
 
“Sampai saat ini, tidak pernah ada komunikasi dengan pemilik tanah. Tetapi, kalau suatu saat mereka meminta akses jalan masuk ke tanahnya, di atas lahan kami, ya harus mengurus sesuai aturan. Karena itu hak mereka juga, sama dengan hak pedagang jika membangun di atas tanah mereka sendiri,” katanya. 
 
Dinas juga tak bisa merekomendasikan relokasi untuk pedagang. Sebab, Dinas khawatir insiden itu akan diikuti permintaan pedagang lain yang berdiri di atas tanah milik pemerintah. Dia juga tak bisa mengakomodasi permintaan pedagang untuk tertap berjualan di atas RTH dengan mengikuti aturan dan estetika yang diminta pemerintah.
 
“Pedagang seharusnya bisa membekali diri dengan modal cukup untuk berpindah, hasil dari jualan selama 14 tahun di atas tanah itu,” ujarnya. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya