Muhammadiyah: Draf RUU Terorisme Tak Lindungi HAM Tersangka

ilustrasi pengeledahan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Maulana Surya
VIVA.co.id - Muhammadiyah menilai draf Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Terorisme yang sedang dibahas DPR memiliki banyak kelemahan, terutama pada aspek penegakan hak asasi manusia (HAM). Kelemahan paling mendasar ialah hak asasi manusia seorang terduga atau tersangka teroris kian tak terlindungi.
Muhammadiyah: Teroris Musuh Bersama yang Perlu Diberantas
 
Muhammadiyah memperingatkan bahwa RUU rentan disalahgunakan aparat penegak untuk melanggar HAM terduga atau tersangka teroris. Contoh paling mutakhir adalah terduga teroris Siyono, warga Klaten, Jawa Tengah, yang tewas saat dalam proses pemeriksaan oleh aparat Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
Enam Terduga Teroris di Batam Ternyata Otak Bom Solo
 
“Dalam hukum tindak pidana dikenal istilah hukum inkuisitor, yang lebih menekankan pada tindakan-tindakan represif; tindakan yang mengabaikan hak-hak tersangka namun diizinkan oleh UU Terorisme terdahulu. Ini yang seharusnya lebih dikaji, harus ada lembaga yang bisa mengontrol,” kata Ketua Tim Advokasi Kemanusiaan Muhammadiyah, Trisno Raharjo, di Yogyakarta pada Kamis, 14 April 2016.
Muhammadiyah: Hasil Autopsi Kuatkan Bukti Siyono Dibunuh
 
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menjelaskan, pengkajian UU tersebut perlu dilakukan setelah melihat penanganan terorisme dengan tersangka Siyono. Soalnya Siyono tidak menerima surat penangkapan dan mendapat kekerasan fisik, bahkan menyebabkan kematian.
 
Trisno kembali menjelaskan bahwa pada awalnya UU Terorisme dibuat setelah peristiwa Bom Bali I berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Tetapi karena pembahasan belum selesai, banyak masukan maupun kritik tentang RUU itu. Sama halnya dengan RUU sekarang.
 
Trisno berpendapat, kebebasan hak asasi manusia terlalu lentur, sehingga mudah disalahgunakan apabila aparat tidak menggunakan hukum sesuai koridor penegakan hukum yang semestinya.
 
Dia mengkritik secara khusus prosedur penangkapan dan penahanan sesuai UU Terorisme, yakni paling lama 1x24 jam. Seseorang yang ditangkap dan dan ditahan lebih sehari wajib dibebaskan jika tidak ditemukan bukti, kecuali telah berstatus tersangka. Jika waktu 1x24 jam tidak cukup, bisa diperpanjang sampai 7 hari.
 
“Waktu selama tujuh hari sering dijadikan dasar untuk menangkap seseorang dengan tidak menggunakan surat resmi penangkapan. Aturan undang–undang inilah yang tidak ada kontrolnya,” kata Trisno.
 
Dalam RUU yang sekarang dibahas, aturan penahanan itu diperpanjang hingga 30 hari. Trisno mengkhawatirkan masa yang terlalu lama itu dapat disalahgunakan aparat untuk melanggar hak-hak tersangka atau terduga teroris.
 
Dia kembali mencontohkan kasus Siyono, yang ditahan berdasarkan aturan paling lama tujuh hari, ternyata ditemukan banyak pelanggaran yang dilakukan aparat.
 
“Dalam tujuh hari saja sudah menimbulkan dampak-dampak, apalagi jika diperpanjang selama 30 hari. Waktu dalam 30 hari orang yang ditangkap itu tidak tahu bagaimana keadaannya, dan di mana. Ini sama saja menculik yang tidak diproses secara hukum,” ujar Trisno.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya