Tiba di KPK, Ahok Irit Bicara

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok penuhi panggilan pemeriksaan KPK. Selasa, 10 Mei 2016.
Sumber :
  • Taufik Rahardian/ VIVA.co.id

VIVA.co.id – Gubernur DKl Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, 10 Mei 2016. Dia memenuhi panggilan guna menjalani pemeriksaan sebagai saksi, dalam kasus dugaan suap terkait pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai reklamasi di Teluk Jakarta.

Ariesman: Ahok Tarik Kontribusi Tambahan Reklamasi Rp1,6 T

Ahok, sapaan akrab Basuki, terlihat tiba di Gedung KPK sekitar pukul 09.36 WIB, dengan ditemani sejumlah ajudannya. Namun, Ahok yang biasanya selalu mau melayani pertanyaan wartawan, kali ini enggan berkomentar terkait pemeriksaannya.

"Nanti ya, saya masuk dulu," kata Ahok singkat.

Sidang Suap Reklamasi, Ahok Akan Bersaksi untuk Sanusi

Secara terpisah, Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati menyebut, penyidik akan menggali keterangan mengenai proses pembahasan Raperda. Termasuk penetapan angka 15 persen dalam tambahan kontribusi lahan yang diduga menjadi penyebab pembahasan Raperda menjadi mandek.

Namun tidak hanya itu, Ahok juga akan dicecar mengenai beragam izin yang dia keluarkan terkait proyek reklamasi.

Ahok Jadi Saksi di Persidangan Suap Reklamasi

"Yang bersangkutan juga ditanya soal tentang latar belakang penetapan besaran kontribusi dan perizinan reklamasi yang dikeluarkan selama dia menjabat," kata Yuyuk melalui pesan singkat.

Menurut Yuyuk, perihal izin tersebut akan ditanyakan lantaran Ahok dinilai sebagai pihak yang paling tahu mengenai proses penerbitan izin. "Karena dia tahu bagaimana prosesnya dan siapa saja yang terlibat dalam proses itu," ujar dia.

Sebelumnya, Penyidik KPK telah memeriksa sejumlah pihak dari Pemprov DKl dalam kasus ini. Termasuk di antaranya adalah Kepala Bappeda, Tuti Kusumawati serta Kepala BPKAD, Heru Budi Hartono.
Pemeriksaan saksi dari pihak pemerintah provinsi dilakukan untuk menelisik mengenai proses pembahasan Raperda itu.

Tidak hanya itu, penyidik juga telah memeriksa staf khusus Ahok yang bernama Sunny Tanuwidjaja. Bahkan, Sunny termasuk orang yang dicegah bepergian keluar negeri terkait penyidikan kasus ini.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyatakan, pencegahan dilakukan lantaran keterangan Sunny diperlukan untuk mengungkap kasus ini. Dia dinilai mengetahui perkara yang telah menjerat mantan Ketua Komisi D DPRD DKl, Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.

"Kalau dia dicegah, berarti dibutuhkan keterangannya," kata Syarif dalam pesan singkat saat dikonfirmasi, Jumat 8 April 2016.

Sunny disebut-sebut menjadi perantara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD dan perusahaan pengembang yang ikut dalam proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

"Sunny itu bisa disebut sebagai koordinator lapangan. Dia yang menghubungkan antara pemda, pengusaha, dan pihak DPRD DKI," ujar pengacara M. Sanusi, Krisna Murthi, Jumat, 8 April 2016.

Krisna juga menyebut, nama Sunny muncul dari keterangan Sanusi saat diperiksa penyidik, dan tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Menurut Krisna, Sanusi memang pernah berkomunikasi dengan Sunny terkait pembahasan soal Raperda tentang Reklamasi.

Kendati demikian, Krisna menilai keterlibatan Sunny pada pembahasan kesepakatan dalam proyek reklamasi itu tidak bisa langsung diartikan sebagai pelanggaran hukum. Krisna menyebut negosiasi antara pemerintah, anggota dewan dan pengusaha merupakan hal yang biasa dilakukan.

Pada kasus ini, Ariesman Widjaja beserta karyawan PT Agung Podomoro Land, Trinanda Prihantoro, tertangkap KPK karena diduga memberikan suap pada Mohamad Sanusi hingga miliaran rupiah. Ketiganya pun sudah ditetapkan menjadi tersangka. Tapi KPK masih menelusuri ada tidaknya keterlibatan pihak lain.

Suap ini diduga diberikan terkait pembahasan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Dua Raperda tersebut diketahui memuat aturan-aturan terkait proyek reklamasi dan menuai polemik dalam pembahasannya hingga beberapa kali tertunda. Disinyalir, pembahasannya mandek karena ada aturan soal nilai tambahan kontribusi lahan yang harus diberikan pengembang ke pemerintah sebesar 15 persen.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya