Malaysia 'Truly Asia' Mungkin Mitos, Tapi...

VIVAnews - Sebagian warga Indonesia saat ini melihat Malaysia dengan pandangan miring. Klaim Malaysia atas beberapa budaya Indonesia, dan menggunakannya secara komersial, makin meningkatkan antipati terhadap negeri jiran.

Dimuat dalam laman Asia Sentinel, Selasa 1 September 2009, protes Indonesia atas penggunaan Tari Pendet,  tari khas Bali, sebagai ikon wisata Malaysia, mungkin beralasan.

Bagaimana bisa Malaysia yang memperlakukan kaum minoritas Hindu dengan tak semestinya dan menghapus jejak sejarah Hindu, mengklaim sebuah tarian asal Bali, yang mayoritas agamanya Hindu.

Malaysia 'Truly Asia' yang jadi trade mark pariwisata negeri jiran, mungkin hanya sekedar mitos. Alih-alih menunjukan kenekaragaman etnisitas, menikmati cita rasa makanan Asia, bahasa, agama, warna kulit, lagu, dan tarian, realitanya tak seperti itu.

Meski tak jadi dilakukan, Malaysia adalah negara yang menjatuhkan hukuman cambuk pada orang yang minum bir. Negara itu juga dituding memperlakukan pekerja asal Indonesia, Filipina secara tak semestinya.

Dibandingkan negara-negara tetangganya, Malaysia sesungguhnya kurang toleran. Namun, harus diakui, Malaysia bisa  mengundang banyak turis dengan pantainya yang hanya beberapa, serta menara kembar Petronas yang digadang-gadang jadi ikon wisata. Soal menarik wisatawan, Malaysia bisa dikatakan sukses.

Bagaimana dengan Indonesia? Bangsa ini harus introspeksi. Kekayaan dan keanekaragaman budaya bangsa ini, nyatanya hanya sedikit diketahui orang luar. Jika tak 'dicuri' Malaysia, hanya sedikit warga nusantara yang sadar arti penting kekayaan budaya dari batik, Reog Ponorogo, maupun Tari Pendet.

Tak terhitung banyaknya atraksi budaya yang dimiliki Indonesia,  tapi promosinya menyedihkan. Indonesia bisa dikatakan gagal menonjolkan kesenian, nilai historis, dan keanekaragaman budaya.

Sebagian turis mancanegara hanya mengenal Bali. Bahkan Bali, yang luasnya secuil dari luas keseluruhan Indonesia, namanya lebih dikenal daripada 'Indonesia'.

Ketenaran Bali lantas menular ke daerah sekitarnya, misalnya Lombok dan Nusa Tenggara Timur, yang dikenal sebagai habitat alami komodo, 'dinosaurus terakhir di muka bumi'.

Meski tak kalah Indah dan kaya akan budaya, jarang dijumpai brosur wisata ke Sumatera dan Jawa. Namun, Sumatera lebih mendingan, para 'pencari ombak' asal Australia masih mengunjungi Nias dan Mentawai untuk berseluncur ombak. Sementara Danau Toba masih menarik untuk dikunjungi para wisatawan Asal Singapura.

Bagaimana dengan Jawa? Dibandingkan Angkor Wat, pesona Borobudur hanya mengundang sedikit turis. Menyedihkan, padahal letak Borobudur gampang dijangkau dengan penerbangan langsung dari Malaysia atau Singapura ke Yogyakarta,

Demikian juga dengan Prambanan. Pesona dua candi megah nan indah itu baru mampu menyedot wisatawan domestik. Sebab, miskin informasi dan promosi.

Kejadian Bom Bali dan bom di Jakarta mungkin jadi faktor kegagalan. Namun faktor lain yang membuat turis ogah berkunjung ke Jawa adalah angkutan umum, termasuk kereta api, yang lambat dan kurang memadai. Demikian pula dengan angkutan penerbangan.

Tak kalah penting soal penginapan. Hotel-hotel mewah yang mahal seperti  Amanjiwo di Borobudur, Roemahkoe di Solo and dan Hotel Majapahit di Surabaya hanya akan menarik turis-turis secara individual, bukan secara masif.

Borobudur menjadi bukti nyata, ketidak berhasilan Indonesia menjual kekayaan budaya dan kekayaan historisnya. Ketimbang mengeluarkan uang banyak untuk membangun gedung tinggi untuk menandingi Malaysia, pemerintah Indonesia sebaiknya berpikir untuk mempromosikan kekayaan sejarah dan budayanya.

Mutia Ayu Cerita Kedekatan Sang Putri dengan Marthino Lio Pemeran Glenn Fredly
Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) perdana kunjungan ke IKN

Jokowi Minta AHY Selesaikan 2.086 Hektar Lahan Bermasalah di IKN Tanpa Ada Korban

enteri ATR/BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkap 2.086 hektar tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN) masih bermasalah. Lahan itu, kata dia, masih ditempati oleh masya

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024