MUI Jawab Kritikan Fatwa Media Sosial

Sekertaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh.
Sumber :
  • Irwandi

VIVA.co.id – Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial resmi dipublikasi pada Senin, 5 Juni 2017. Ragam respons dari publik menyertai terbitnya fatwa pedoman bermedia sosial itu.

Menkominfo Bertemu Pemuka Agama Hindu Bahas Isu Media Sosial

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Asrorun Niam, mengakui muncul berbagai pertanyaan dan kritik atas fatwa itu. Salah satunya, sebagai ahli agama, ulama dipandang awam dalam hal media sosial. Bahkan, ulama bisa menjadi korban maupun penyebar hoax. 

Niam mengungkapkan, dalam merumuskan fatwa media sosial, para ulama di MUI menggali secara mendalam semua dari segala aspek. 

Soal Buzzer Hoax, MUI Sebut Haram dan Batil

"Misalnya menggali aspek regulasi, apa yang sudah dilakukan. Peta masalah riil yang terjadi, termasuk pendekatan yang khas atas perkembangan teknologi dan informasi," ujar Niam ditemui di Jakarta, Jumat, 9 Juni 2017. 

Aktivis Nahdlatul Ulama itu menjelaskan, Komisi Fatwa MUI tak berhenti pada tahap itu saja. Ulama meminta masukan perspektif dari Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, yang kebetulan bertandang langsung dan berdiskusi dengan ulama di kantor MUI. 

Cak Imin Yakin Fatwa Media Sosial MUI Setop Ujaran Kebencian

Kemudian MUI juga meminta perspektif dari pemangku kepentingan sampai mengundang ahli. 

"Jadi fatwa ini tidak hanya berdasarkan pada literatur keagamaan semata, tapi juga didasarkan kepada kajian yang sifatnya integral dan holistik. Termasuk di antaranya penelitian-penelitian mutakhir yang dilakukan oleh masyarakat telekomunikasi (Mastel)," jelas Niam. 

Proses penggalian masukan untuk bahan penetapan fatwa itu berlangsung cukup panjang. Dimulai sejak Januari tahun ini dan kemudian ditetapkan atau diteken oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI pada 13 Mei 2017.

MUI mengeluarkan fatwa ini, lantaran melihat dinamika penggunaan media sosial dan digital tak disertai tanggung jawab, sehingga kerap menjadi sarana penyebaran informasi palsu (hoax), fitnah, ghibah (penyampaian informasi faktual seseorang atau kelompok yang tak disukai), namimah (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta sampai ujaran kebencian dan permusuhan.

MUI juga melihat banyak pihak juga menjadikan konten media digital sebagai sarana sarana memperoleh simpati, lahan pekerjaan, sarana provokasi, agitasi, dan sarana mencari keuntungan politik serta ekonomi. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya